08 Januari 2008

Feminisme dalam Public Relations

(Kajian Semiotik Terhadap Citra Profesi PR di Indonesia)

Oleh: Rifqi Hidayat


Sebelum memasuki tahap analisis, pada bagian awal essai ini akan saya paparkan terlebih dahulu mengenai apa itu definisi dari Public Relations (PR). Mengutip pendapat dari salah seorang tokoh, Marshall dkk, disebutkan bahwa Public Relations merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh goodwill, kepercayaan, saling pengertian, dan citra baik dari publik atau masyarakat. Sedangkan menurut salah seorang tokoh lain, John E. Marston, Public Relations is planned, persuasive communication designed to influence significant public. Artinya bahwa Public Relations perlu direncanakan dalam suatu pendekatan manajemen kepada target publik tertentu yang dilakukan dengan menggunakan metode “persuasive communication”.

Dari kedua definisi diatas terlihat jelas bahwa konsep praktik Public Relations yang utama adalah berkaitan dengan pembentukan dan pemeliharaan hubungan baik yang saling menguntungkan antara organisasi dengan publik, tanpa melibatkan adanya aspek gender (laki-laki dan perempuan) di dalamnya. Pada masa itu. kedua tokoh tersebut sama sekali tidak mengidentikkan profesi Public Relations dengan jenis kelamin tertentu.

Laen dulu, laen sekarang. Rasanya ungkapan tersebut sesuai untuk menggambarkan keberadaan profesi Public Relations saat ini, khususnya di Indonesia. Profesi PR di Indonesia diidentikkan dengan lahan pekerjaan kaum hawa, yakni perempuan. Masyarakat kita mencitrakan profesi Public Relations dengan ”visualisasi” seorang perempuan yang memiliki paras cantik dengan tinggi badan yang semampai. Hanya sebatas itu saja! Jadi dapat dikatakan telah terjadi pergeseran makna atau definisi terhadap profesi Public Relations antara jaman dulu dan sekarang, terutama terkait dengan masalah gender. Dahulu siapa pun berhak untuk menekuni profesi ini, namun sekarang stereotipe yang terbentuk dalam benak masyarakat Indonesia, ”PR itu ya cewek”.

Ada asap pasti ada api. Begitu juga dengan isu gender yang melekat pada profesi Public Relations di Indonesia, pasti ada alasan yang melatarbelakangi mengapa isu tersebut sampai muncul ke permukaan seperti saat ini. Gerakan Feminisme Liberal yang ”lahir” pada saat Perang Dunia II-lah yang sebenarnya merupakan ”dalang” atau latar belakang dari munculnya fenomena ini. Dapat dilihat dari tulisan-tulisan Mary Wollstonecraft, digambarkan disitu hingga abad ke-18, pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga) telah dilakukan di dan sekitar rumah, baik perempuan maupun laki-laki. Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa itu peran perempuan tidak lagi meliputi ranah pekerjaan rumah (domestik), yang orang Jawa bilang di masa itu bahwa peran seorang perempuan hanyalah 3M yakni macak (berdandan), manak (melahirkan), dan masak semata. Tetapi lebih dari itu, mereka juga mulai merambah ke ranah publik. Hal itu mau tidak mau mereka lakukan agar kelangsungan hidup keluarga mereka bisa tetap terjamin, sementara para suami (laki-laki) pergi ke medan perang.

Maka sejak lahirnya Feminisme Liberal hingga saat ini kaum perempuan juga berhak untuk bekerja di luar rumah, berkesempatan menentukan nasibnya sendiri. Saat ini saja di Indonesia, telah dapat kita lihat dan kita rasakan kontribusi kaum perempuan di berbagai bidang pekerjaan yang ada. Mulai dari ”pekerjaan” sebagai kepala negara atau presiden sampai dengan pekerjaan mengemudikan busway, dilakoni juga oleh perempuan. Begitu pula dengan kegiatan Public Relations seperti menangani hubungan antara organisasi dan publik stakeholder-nya, memonitor opini publik yang berkembang di masyarakat hingga mengadakan press conference, juga dilakukan oleh perempuan. Hal ini semakin ditunjang dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan, baik itu yang berskala nasional maupun PMA (Perusahaan Milik Asing) yang mempekerjakan perempuan sebagai tenaga PRO (Public Relations Officer)-nya. Perusahaan-perusahaan tersebut lebih memilih merekrut pegawai perempuan untuk dijadikan sebagai PRO dengan asumsi bahwa perempuan dikenal dengan sifatnya yang lebih ramah, santun, sabar, patuh, fleksibel, serta diimbangi dengan temperamen yang lebih baik ketimbang laki-laki. Semua sifat yang ada dalam diri perempuan tersebut dianggap dapat lebih memudahkan perusahaan dalam meraih tujuan, goodwill, kepercayaan maupun citra positif dari publik atau masyarakat.

Sebagai contoh kasus sekaligus pembuktian dari pernyataan diatas, PT. Indosat East Java and Kalimantan Regional Office yang bertempat di Kota Surabaya, hanya menerima pelamar perempuan untuk ditempatkan pada Division of Public Relations. Begitu pun yang terjadi di PT. Indo Data Pratama, sebuah konsultan PR ternama di Jakarta, yang seluruh staff dan pegawainya berjenis kelamin perempuan (bahkan termasuk owner-nya).

Apabila kenyataan yang terjadi di lapangan tersebut diperparah dengan peran media massa dalam menyebarkan isu gender dalam profesi Public Relations, maka bisa dipastikan masyarakat akan semakin terdoktrin pikirannya bahwa profesi Public Relations itu memang diperuntukkan bagi kaum perempuan, ”PR itu ya cewek”. Tidak hanya berhenti sampai dengan kata ”perempuan” saja, namun akan berlanjut dengan kalimat ”perempuan yang cantik dengan gaya berbusana yang spesifik”. Coba kita perhatikan dengan seksama, hampir semua PRO di Indonesia mengadopsi gaya berbusana yang sama dan spesifik yakni stelan jas atau blazer yang dipadu dengan sepatu high-heels atau stiletto.

Jika semua fenomena mengenai Public Relations yang telah dijabarkan diatas, dikaitkan dengan kajian semiotika maka dapat disimpulkan bahwa saat ini, kita, masyarakat Indonesia, sedang berada dalam kondisi yang disebut keterjebakan mitos. Kondisi dimana seseorang tidak dapat memungkiri, menolak bahkan keluar dari mitos yang ada. Kondisi dimana orang awam bahkan para praktisi Public Relations sekalipun tidak kuasa untuk menolak sebuah pernyataan bahwa ”PR itu ya cewek”. Keadaan dimana para PRO di Indonesia tidak mampu untuk memilih gaya berpakaian lain selain stelan jas atau blazer dengan paduan sepatu high-heels atau stiletto. Sebuah mitos yang dapat membunuh karakter pribadi, jati diri kita, secara perlahan-lahan.

Padahal apabila ditinjau dari kajian Feminisme Psikoanalisis yang dikemukakan oleh Nancy Chodorow, tidak seperti itu adanya. Dia berteori bahwa perkembangan psikoseksual anak laki-laki dan perempuan mempunyai beberapa implikasi sosial. Keterpisahan anak laki-laki dari ibunya adalah penyebab kemampuannya yang terbatas untuk secara dalam berhubungan dengan orang lain. Kekurangan emosional ini, mempersiapkan anak laki-laki untuk dapat bekerja dengan baik di sektor publik, yang menghargai efisiensi yang berorientasi kepada satu tujuan saja, mentalitas ”siapa yang kuat, dia yang menang”, serta kemampuan untuk menjarakkan diri dari Liyan agar dapat memahami Liyan secara obyektif dan tanpa perasaan. Sebaliknya, keterikatan anak perempuan dengan ibunya adalah penyebab kemampuannya untuk berelasi dengan Liyan, untuk menjalin hubungan manusia yang intim dan rumit –jenis hubungan yang dapat memelihara keutuhan ranah pribadi. Sayangnya, kemampuan ini justru yang menyulitkan anak perempuan untuk menciptakan tempatnya sendiri di dalam dunia publik. Justru karena perempuan mengembangkan batas-batas ego yang menyebar, perempuan cenderung untuk menyatukan menyatukan kepentingannya dengan kepentingan orang lain, yang membuat identifikasi dan usaha untuk mencapai kepentingan independen apa pun menjadi suatu hal yang tidak nyaman.

Setelah membaca dan memahami pemikiran dari Chodorow diatas, maka sesungguhnya sudah tidak ada alasan lagi bagi kaum laki-laki untuk merasa ragu-ragu ataupun malu menjadi seorang Public Relations Officer (PRO). Karena sejatinya kaum laki-laki telah dipersiapkan sejak dini (bahkan sejak lahir) untuk dapat bekerja dengan baik di sektor publik, termasuk di dalamnya profesi Public Relations. Memang laki-laki memiliki keterbatasan dalam aspek emosional, namun karena itu terciptalah strong mental endurance yang lebih kokoh pada diri seorang laki-laki. Mereka lebih bisa untuk memfokuskan diri pada satu tujuan saja, laki-laki lebih mampu untuk membedakan mana kepentingan pribadi dan mana kepentingan orang banyak atau perusahaan. Yang pada akhirnya menyebabkan laki-laki lebih cepat dalam usahanya mengantarkan perusahaan pada ”top position”. Tidak percaya? Cobalah anda tengok sepak terjang dari seorang Yudi Rizard Hakim, Public Relations dari PT. HM Sampoerna. Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja dia mampu mengantarkan Sampoerna memperoleh goodwill and good image from the public and stakeholder. Serta perhatikan pula bagaimana cara dan teknik dia bernegosiasi sehingga berhasil menyelamatkan perusahaan dari demo karyawan yang berkepanjangan.

Bahkan berdasarkan dari data yang penulis dapat dari sumber internet menyebutkan bahwa kajian “Corporate Public Relations” pertama kali dicetuskan oleh seorang laki-laki, yakni Arthur W. Page. Beliau merupakan orang pertama yang menulis news release di media (6 Agustus 1945) mengenai peristiwa dijatuhkannya bom atom di Hiroshima, Jepang, oleh pesawat tempur Amerika Serikat.

Atau jika anda berkesempatan mengunjungi negeri Paman Sam, cobalah anda “singgah” ke kampus California Institute of Technology (Caltech). Mengapa? Karena kampus ini dengan bangga “mempekerjakan” seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai Vice President of Public Relations-nya, yaitu Robert L. O’Rourke. Jadi dapat dilihat bahwa laki-laki di negara barat mampu ”menancapkan taring-nya” dan mendapat porsi yang cukup besar untuk dapat berkiprah dalam dunia Public Relations.

So, buat para lelaki di Indonesia, sudah bukan saatnya lagi untuk ragu-ragu dan malu menjadi seorang Public Relations Officer (PRO) hanya gara-gara sebuah mitos ”PR itu ya cewek”. Show that, without any shadow and doubt, you dare to be different and breakdown the myth. (/rif)

Hubungan Antara Kecantikan, Produk Kosmetik, dan Keputusan Pembelian

Oleh Ayu Arini, Mahesarani Vini A., Laila Kurniawati, dan Rocmatul Maghfuro


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tampil cantik merupakan keinginan setiap wanita. Semua wanita ingin kelihatan cantik di mata semua orang, terutama oleh lawan jenis. Hal inilah yang kemudian mendorong wanita untuk selalu terlihat cantik dan berlomba-lomba untuk tampil cantik dan menarik. Agar wanita tampil cantik dan menarik konsekuensi logisnya adalah pemakaian produk-produk kosmetik yang akan menunjang penampilan. Dengan kata lain wanita selalu erat kaitannya dengan produk kosmetik dan hampir-hampir tidak bisa dilepaskan dari produk-produk tersebut. Karena kosmetik adalah hal yang paling tidak bisa dilepaskan dari kehidupan wanita, hal ini kemudian memunculkan ketergantungan pemakai terhadap produk-produk kosmetik merek tertentu. Bahkan ada yang sangat setia dengan suatu merek.

Menurut American Marketing Association, merk merupakan nama, istilah, tanda, symbol, atau desain atau kombinasi dari keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari kompetitornya. Merek mempunyai peran strategis yang penting dengan menjadi pembeda antara produk yang ditawarkan suatu perusahaan dengan merek-merek saingannya. Citra merek yang kuat memungkinkan pabrikan meraih kepercayaan langsung dari para pengecer dan pedagang perantara di pasar lainnya.

Dari perspektif konsumen merk yang terpercaya merupakan jaminan atas konsistensi kinerja suatu produk dan menyediakan manfaat apapun (dalam bentuk status atau gengsi) yang dicari konsumen ketika membeli produk atau merek tertentu. Lebih lanjut merek merupakan sebuah janji kepada konsumen bahwa hanya dengan menyebut namanya timbul harapan bahwa merek tersebut akan memberikan kualitas yang terbaik, kenyamanan, status dan lain-lain yang menjadi pertimbangan konsumen ketika melakukan pembelian. Menurut perspektif konsumen sebuah merek memiliki ekuitas sebesar pengenalan konsumen atas merek tersebut dan menyimpannya dalam m,emori mereka beserta asosiasi merek yang mendukung, kuat dan unik.

Kosmetik merupakan kebutuhan bagi seorang wanita. Hal ini memunculkan loyalitas kepada barang merek tertentu. Dan kemudian memunculkan pula konsumerisme di kalangan wanita terhadap kosmetik. Di sisi lain produk kosmetik tertentu dianggap dapat menaikkan gengsi seseorang. Sehingga dorongan yang kemudian muncul tidak hanya agar wanita tampil menarik, tapi juga dorongan agar mempunyai kelas sosial yang lebih tinggi. Konsekuensinya, pola konsumerisme wanita terhadap kosmetik semakin tinggi.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana pola konsumerisme remaja terhadap produk kosmetik?
  2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi remaja dalam memilih dan membeli produk kosmetik?
  3. Apakah hubungan antar merek kosmetik dengan keputusan pembelian?

Tujuan

  1. Untuk mengetahui pola konsumerisme di kalangan remaja khususnya mahasiswa
  2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi remaja dalam memilih dan membeli produk kosmetik
  3. Untuk mengetahi hubungan antara merek dengan keputusan pembelian terhadap suatu produk kosmetik


TINJAUAN PUSTAKA

Wanita Dan Kecantikan

Cantik merupakan idaman setiap wanita. Tidak diketahui secara pasti kapan istilah cantik mulai dikenal dan bagaimana orang mempersepsi kecantikan. Mungkin istilah cantik telah ada bersamaan dengan adanya manusia di bumi ini. Karena sejak dahulu sejarah manusia sudah mengenal persepsi kecantikan mereka, meski dalam konteks yang berbeda-beda

Dalam kesusastraan Indonesia, misalnya dalam sastra kakawin terdapat penggambaran idealisasi kecantikan wanita. Sastra kakawin terdiri puisi-puisi yang menceritakan segala aspek kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat juga definisi-definisi atas idealisme patriarkal tentang femininitas. Menurut Helen Creese (dalam Ita Yulianto: 2007) representasi dari kecantikan fisik perempuan dalam kakawin selalu diasosiasikan dengan alam atau bersifat alamiah, misalnya dalam kitap Arjunawijaya

Oh, pujaan hatiku, Oh dewiku,

Katakanlah padaku mengapa engkau bisa menjadi seorang dewi,

Kaulah kecantikan tak tertandingi

Semua yang kau lakukan sama halnya dengan yang

Dilakukan oleh ara dewi bunga-bunga

Segala kecantikan ada dalam dirimu

Daun Asoka muda adalah pinggangmu

Indahnya kuning kelapa gading seindah payudaramu

Indahnya lambaian tanaman gadung adalah juntai tanganmu

Teratai biru adalah indahnya matamu

Remang bulan seperti berganti siang

Karena kecantikanmu, merana karena hilangnya cahaya

Berapa pun banyaknya puisi yang ada di muka bumi ini,

Takkan pernah cukup untuk melukiskan pesona kecantikanmu

Dalam sastra Jawa yang modern, dideskripsikan pula mengenai representasi kecantikan fisik dari seorang perempuan. Seperti yang terdapat di bawah ini:

Tangannya panjang seperti anak panah,

Rambutnya bergelombang dan hitam sekali,

Giginya seperti biji buah mentimun, tubuhnya langsing kuat,

Warna kulitnya kuning seperti kunyit…

Matanya sering berkedip seperti bila tertiup angin, anak rambutnya

banyak, semua itu menambah pesona ayu wajahnya.

Contoh lain dalam sastra Jawa yang mendeskripsikan idealisme kecantikan perempuan, kecantikan priyayi dideskripsikan sebagai berikut: kecantikan priyayi adalah bila ia bergerak secara lamban. Seperti seorang yang kelelahan, ia menggerakkan matanya pelan manakala ia melihat seseorang lain. Jangan bersolek hanya akan menimbulkan hasrat saja. Kulitnya gelap/kehitam-hitaman, ia tidak suka tertawa. Jika tertawa ia selalu berusaha menutupi mulutnya.

Pada masa klasik tubuh perempuan yang indah selalu di idealisasikan sebagai tubuh yang gemuk dan berisi.Patung dan gambar-gambar perempuan telanjang termasuk visualisasi Dewi Venus lambang kecantikan seorang perempuan pada masa Yunani Klasik sampai masa Renaissance digambarkan memiliki lipatan lemak di pinggang, paha. Ini disebabkan pada masa lalu perempuan dinilai dari kesuburannyasehingga perempuan yang berisi bahkan gemuk dianggap mewakili konsep ideal mengenai tubuh perempuan.Di komunitas masyarakat yang sangat mengagungkan kesuburan perempuan semakin gemuk perempuan maka ia akan dipandang semakin subur yang akhirnya dianggap sebagai bentuk ideal perempuan cantik. Di kalangan masyarakat Arab misalnya, secara tradisi masyarakat Arab terbagi dalam kabilah-kabilah yang seringkali saling berperang satu dengan lainnya.Karena itu kesuburan perempuan menjadi sangat penting karena kuatnya sebuah kabilah ditentukan oleh banyaknya jumlah anggotanya dan perempuan yang subur akan menentukan kejayaan kabilah itu di masa depan.Itulah sebabnya di kalangan masyarakat Arab bahkan sampai sekarang di tradisikan bahwa perempuan yang sudah menikah harus bertubuh gemuk bahkan gembrot , bila tidak maka akan dianggap mempermalukan nama keluarga.

Cleopatra merupakan sosok yang sudah tidak asing bagaiman suatu kecantikan itu direpresentasikan. Ia adalah seorang ratu yang pernah memerintah Mesir. Cleopatra berasal dari bahasa Yunani Kuno yang artinya "keagungan ayah" dan nama lengkap Cleopatra VII - Cleopatra The Philapator mengandung makna "sang Dewi Keagungan Ayah, atau putri kecintaan ayah". Begitulah sang ayah, Ptolemy XI memberinya nama. Pemberian nama Cleopatra oleh sang ayah bukan tanpa sebab. Mungkin karena Ptolemy XI melihat pancaran kecantikan putrinya itu.

Cleopatra memang dikenal sebagai seorang wanita yang berparas cantik dan bertubuh molek. Sejak kecil ia sudah memancarkan gairah kekewanitaan Ada beberapa sumber literatur yang menyebut bahwa Cleopatra bukan wanita berdarah Mesir asli. Ia diduga wanita turunan campuran Macedonia, Yunani, dan Suriah. Karena itu ia mewarisi seluruh kecantikan indo Timur Tengah, Asia dan Eropa. Saat pertama kali menduduki tahta kerajaan Mesir di usia 18 tahun, dalam banyak literatur, ia digambarkan sebagai gadis belia yang sangat menggairahkan. Tinggi semampai dengan lekuk tubuh menawan, buah dada yang ranum menggoda, kaki jenjang, pinggul padat berisi, wajah bulat telur, rambut hitam mengkilat, dan kulit halus putih berkilau. Wajahnya memancarkan gairah dan vitalitas, dengan alis sedikit tebal, mata hitam bersinar, bibir seksi dengan sedikit lekukan menawan di bawah hidung, tampak selalu tersenyum, namun menyimpan misteri "liar" yang menggoda

Studi Tentang Tubuh

Dalam masyarakat Yunani kuno ada 3 pandangan utama mengenai tubuh. Yang pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental. Aliran yang kedua, didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental. Aliran yang terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus, mengatakan bahwa tubuh adalah kuburan bagi jiwa (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.

Pemikiran Romawi tidak memandang tubuh dengan negatif. Sebagian besar orang Romawi sangat percaya dengan astrologi dan memandang tubuh dan jiwa adalah bagian dari kosmis. Kemudian tibalah jaman Renaisans yang mengakhiri ide dasar bahwa "tubuh adalah musuh", dan mulailah bergulir gagasan bahwa tubuh adalah sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler.

Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, tetapi tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak", tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki.

Memasuki era modern pencitraan dan idealisasi tubuh perempuan seperti ini mulai pudar.Dimulai pada era tahun 50 an yang dianggap sebagai era kemakmuran di sejumlah negara yang sebelumnya menderita akibat perang.Era kemakmuran berarti adanya cukupbanyak uang bagi sebagian besar orang untuk membeli sesuatu. Dan salah satunya produk kecantikan.

Di era 80 an pembentukan opini dan persepsi mengenai citra dan idealisasi tubuh perempuan yang sempurna ini mulai merambah pula dunia anak-anak perempuan.Muncullah ikon baru yang diberi nama Barbie yang merupakan sebuah model boneka untuk anak perempuan yang berbentuk seperti perempuan dewasa yang bertubuh bak pragawati yang sebenarnya tidak normal misal kakinya yang terlalu panjang.Mainan baru ini dengan cepat populer menggantikan model boneka anak-anak perempuan sebelumnya yang umumnya berbentuk binatang lucu seperti Teddy Bear , Bunny.Dan tanpa disadari mainan baru ini akan mempengaruhi psikologi dan pandangan anak perempuan tersebut bila dia dewasa nanti.

Dan karena seperti yang diungkap sebelumnya bahwa pencitraan dan idealisasi perempuan cantik dan sempurna itu selalu digambarkan berbeda dengan sebagian besar perempuan maka banyak perempuan kemudian terlalu terobsesi untuk memiliki tubuh seperti yang ada pada model-model tersebut.

Pada perkembangannya yang terakhir tubuh tidak lagi bisa dianggap sebagai sekedar pemberian Tuhan, tetapi dianggap sebagai plastik dan bionik, dengan alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga, pendeknya sesuatu yang dapat dibentuk sesuai keinginan manusia.

Margaret Mead, mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari 2 jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

Mary Douglas (1966) melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Tubuh dibagi menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.

Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.

Bryan S Turner (1984) membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh". Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi: 1) Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi. 2) Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah "politik". 3) Ke-mampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh. 4) Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh.

Menurut Frank (1991) ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body

Tubuh dalam Kebudayaan Konsumen

Mike Featherstone (1982) mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).

Dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.

Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut

Bercermin adalah proses yang problematis. Aktivitas tersebut bukan hanya menghasilkan pantulan seseorang yang bercermin di hadapannya. Cermin seakan menjadi tempat bertanya, seperti dalam dongeng putri salju, sang ratu jahat selalu bertanya siapakah yang tercantik di seantero dunia. Pemaknaan akan diri akhirnya menemukan jalan berliku, bagai cermin ajaib yang bisa berbicara.

Dorongan wanita untuk tampil cantik terkadang cenderung menjadi sebuah obsesi. Definisi Obsesi dalam kamus Bahasa Indonesia adalah sebuah “pikiran yang selalu mengganggu kesadaran seseorang yang sukar dihilangkan dari ingatan” (Partanto&Yuwono, 1994:336). Yang seringkali terjadi adalah adanya kecenderungan seseorang untuk mencari kekurangan pada tubuhnya, dibanding kemampuan untuk menerima tubuhnya apa adanya. Bahkan ketika seseorang menerima tubuhnya yang dianggap cantik sekalipun, ia akan mulai dengan memandang sebelah mata tubuhnya tersebut. Pandangan minor terhadap tubuh, yang sayangnya merupakan kecenderungan, menjadi sebuah jalan masuk kalangan pembuat iklan untuk menciptakan citra produk komoditi, terutama produk perawatan tubuh. Obsesi menjadi cantik itulah yang akhirnya melahirkan konsumerisme terhadap produk kosmetik.

MASYARAKAT DAN KOMODITAS

Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Foucault dengan “masyarakat konsumer” (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 195) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society).

Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, kita hidup dalam suatu masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental.

Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi teristimewa terhadap industri komunikasi.

Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri.

Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Masyarakat kini hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat.

Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial.

Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.

Sejalan dengan pemikiran ini Pilliang mengemukakan bahwa :

Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).

Selain itu Pilliang juga mengemukakan bahwa :

“Demi tetap berlangsungnya sistem kapitalisme, apa yang disebut dengan kapitalisme global, misalnya, memangsa apa saja-artinya menjadikan komoditi apa saja- mulai dari hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinansi dan fantasi, demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya kapital “(Piliang, 1999;hal.117)

Hal yang penting yang terdapat dalam masyarakat komoditas adalah proses pembelajaran. Dalam masyarakat komoditas atau masyarakat konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup. Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum kemajuan dan kebaruan. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media.

Dalam masyarakat komoditas, konsumsi sudah merupakan suatu tanda atau makna keberadaan manusia modern itu sendiri. Segala bentuk pemasaran telah dikomodifikasikan dalam bentuk yang lebih persuasif sekaligus hegemonik melalui simbol-simbol yang digunakan dalam sebuah iklan. Dapat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut adalah media baru bahkan pesan yang dibungkus dalam simbol merupakan media itu sendiri.

Desain, mode, bentuk kata, tipografi muncul sebagai “avant garde” yang pada akhirnya menjadi penentu kebutuhan manusia. Dalam konteks permasaran modern, seseorang sekarang membeli bukan karena barang atau jasa itu sendiri tapi rangkaian kata, simbol yang membentuk gaya hidup yang disimbolisasikan dalam tanda-tanda yang dibuat. Sekarang ada istilah yang disebut sebagai “consumers are the citizen of Brand”. Atau dengan kata lain, kalau kita makan mie sebenarnya yang kita makan adalah merek mie tersebut, kalau kita memakai celana jeans kita tidak semata-mata memakai celana, tapi menggunakan gaya hidup yang inheren melekat dalam jeans tersebut. Logika konsumen adalah logika merek atau brand. Satu sisi kekuatan iklan modern terletak pada daya rayu Iklan yang menekankan aspek simbolisasi yang berhubungan dengan gaya hidup manusia. Penekanan aspek simbolisasi tentu saja akan sangat berhubungan dengan kemampuan manusia untuk menarasikan dan mengabstraksikan gaya hidup dalam sekumpulan tanda, ikon atau indeks yang tepat.

Tapi hal yang perlu dipahami adalah bahwa aspek simbol, ikon atau terminologi apa saja yang ada dalam telaah semiotika berhubungan dengan proses kultur dalam hal ini adalah kultur konsumtif manusia. Pola nilai budaya yang hidup dalam sebuah masyarakat akan sangat berhubungan dengan sistem nilai dan penafsiran tentang apa yang disebut dengan indah atau menarik. Estetisasi budaya konsumtif merupakan aras pelengkat dalam daya pikat iklan tertentu. Dalam pemahaman ini, maka wajar bahwa sebuah iklan dalam budaya tertentu merupakan kombinasi –meminjam istilah Saussure- langue (konsep) dan parole (tuturan).

Dari penjelasan yang diungkapkan di atas terlihat bahwa ranah iklan terutama bagi masyarakat modern merupakan ranah kebudayaan selain bahwa iklan tetap pada domain pemasaran, komersialisasi dan kreativitas seni. Kombinasi domain ini menyebabkan iklan menjadi salah satu kekuatan kapitalisme modern yang berpenetrasi pada wilayah sosial, psikologis, politik, ekonomi dan lainnya. Iklan menjadi bentuk yang sangat jelas bahwa lingkar dan belalai kapitalisme modern sampai menusuk pada ulu hati individu yang berpengaruh pada cara nilai, cara pandang, cara berbelanja, cara makan, cara berkacamata dan masih banyak cara-cara yang lain.

Kosmetik dan Konsumerisme

Menurut konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ada. Sebagai contoh, tahun 1999, warga AS menghabiskan 8 milyar dollar untuk belanja kosmetik. Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Konsumerisme adalah sejenis spending yang menjadi indikator bagusnya demand economy. Konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya uang untuk shopping. Bukan pula soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Lalu, mengapa di tengah lautan kemiskinan yang luas, orang menumpuk barang-jasa bermerek yang berharga absurd? Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada" dilembagakan sebagai nirvana.

Barang/jasa obyek konsumerisme tidak punya arti dalam diri sendiri. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pédé dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pédé tertinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Konsumerisme tak hanya menyangkut proses sosio-psikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi-politik.

Dalam banyak hal bisa dikatakan, konsumerisme menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya-hidup. Pokok ini sentral meski suka dihaluskan dengan menutup-nutupinya dalam istilah value-added. Mereka yang pernah membaca filsafat ekonomi akan tertawa karena istilah "nilai tambah" lebih sering bukan urusan kualitas, tetapi soal klaim pada rasa pédé.

Kehidupan hedonis terpuaskan ketika konsumen pesan-pesan yang membuat mereka merasa nyaman. Orang-orang cenderung nerespon stimuli yang telah diasosiasikan dengan rewards dan dihubungkan dengan aspek kehidupan mereka yang tinggi.

Dalam perspektif hedonic experiental (HEM) melihat orang seringkalii mengkonsumsi produk semata-mata hanya untuk kesenangan atau mengejar fantasi/ stimuli sensorik. Konsumsi produk dari perspektif hedonic menghasilkan antisipasi untuk bersenang-senang, memenuhi fantasi, atau untuk memperoleh perasaan senang. Produk lebih dari sekedar entitas obyek dan merupakn symbol subyektif yang menimbulkan perasaan dan menjanjikan kesenangan serta kemungkinan realisasi dari fantasi. Komunikasi produk yang relevan dengan perspektif HEM ditekankan pad aide nonverbal atau kata-kata yang mudah menyentuh emosi serta dimaksudkan untuk menghasilkan citra, fantasi emosi dan perasaan yang positif.

Seorang psikoanalis perempuan, Rachel Bowlby, mungkin menjengkelkan kaumnya. Dalam Carried Away: Hidden Histories of Shopping (2001), ia ungkap temuannya, "Dalam banyak hal, sejarah shopping (dan konsumerisme) adalah sejarah kaum perempuan". Kualifikasi "pada banyak hal" dalam tuturan itu mau menunjuk, kaum lelaki (dan kaum antara lelaki-perempuan) tidak lepas dari gejala itu. Bowlby tidak sendirian. Diagnosa semacam sudah menjadi pokok refleksi berbagai literatur feminisme.

Ada tiga insting manusia yang menjadi sasaran utama strategi penjulan komoditas dan itu luas dilakukan. Satu, memainkan insting nafsu pemilikan. Dua, memainkan insting privilese dan status. Tiga, memainkan daya tarik romantisme-sensualitas.

Konsumerisme Sebagai Mesin Hasrat

Menurut Lacan yang menggerakkan kehidupan adalah hasrat. Manusia adalah makhluk imajiner. segala sesuat yang membentuk ego idealnya atau identitasnya selalu dikonstruksi oleh imajinasinya sendiri. Konsumerisme samata-mata digerakan oleh hasrat menjadi apa yang dihasrati oleh orang lain. Sebab itu konsumerisme meledak. Dengan mengkonsumsi secara mengada-ada orang merasa memiliki identitas yang diperlukan untuk mendapat pengakuan dari liyan.

Meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, berdasarkan pandangan Lacan, setidak-tidaknya ada dua bentuk utama hasrat, yang juga beroperasi dalam masyarakat posmodern. Pertama, hasrat .menjadi (to be), yaitu hasrat menjadi obyek cinta, kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan sang lain (the others). Orang merasa menjadi obyek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai (narcissistic desire). Inilah, misalnya, orang-orang yang memperlihatkan eksistensi dirinya lewat tanda-tanda dan gaya hidup: mobil mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal,dan kosmetik.

Kedua, hasrat memiliki (to have), yaitu hasrat memiliki sang lain (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri (anaclictic desire). Hasrat memiliki. merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk .mengingingkan. iringan-iringan benda yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global merubah .keinginan. (want) menjadi kebutuhan (need). Artinya, kebutuhan tersebut diciptakan. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi kebutuhan. dan dorongan hasrat di baliknya, untuk keberlanjutan produksi Inilah wacana libidonomics.

Konsumtif: antara Gengsi dan Kebutuhan

Tidak ada batasan yang jelas memang mengenai istilah konsumtif. Kebanyakan orang beranggapan konsumtif padanan kata untuk konsumerisme. Kenyataannya kedua istilah itu berbeda arti. Konsumerisme merupakan istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen, berkaitan dengan kegiatan individu selaku konsumen dalam memperoleh dan menghabiskan barang atau jasa. Tidak hanya itu, konsumerisme juga melingkupi penelitian mengenai perilaku konsumen dan perlindungan terhadap hak individu sebagai konsumen. Sedangkan konsumtif dapat didefinisikan sebagai perilaku membeli barang atau jasa secara berlebihan, walaupun sebenarnya tidak dibutuhkan. Biasanya, individu dengan perilaku konsumtif, cenderung membelanjakan uang berlebihan. Mereka tidak memperhitungkan pemasukan dan pengeluaran.

Yang termasuk dalam perilaku konsumtif adalah addictive consumption, yaitu mengkonsumsi barang atau jasa karena ketagihan. Perilaku konsumtif lainnya adalah compulsive consumption, yaitu berbelanja secara terus-menerus tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya ingin dibeli. Produk yang dibeli belum tentu disukai atau dapat digunakan pembelinya. Biasanya individu berbelanja hanya untuk mengurangi tekanan atau stres yang dialami.

Selain itu terdapat istilah impulse buying atau impulsive buying. Bila compulsive consumption dilakukan semata-mata untuk mengurangi ketegangan, sehingga pada akhirnya tidak memperhatikan produk atau jasa yang dikonsumsi, maka pada impulse buying, produk dan jasa memiliki daya guna bagi individu. Namun, pembelian produk atau jasa tersebut dilakukan tanpa perencanaan.

Perilaku konsumtif telah menjadi bagian dalam masyarakat kita, menjadi gaya hidup. Gaya hidup yang menjerumuskan. Masyarakat kita mudah sekali terbujuk iklan dan segala hal yang artifisial. Kebanyakan dari kita beranggapan apa yang tampak indah adalah baik. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasa percaya diri (self esteem). Orang berusaha tampil baik di hadapan orang lain, membeli berbagai macam kosmetik, alat rias, memperlihatkan dirinya mampu membeli mobil, rumah yang mewah, makan di tempat yang eksklusif. Produsen menggunakan sisi "manusiawi" itu untuk memasarkan dan meningkatkan nilai penjualan produknya.

Pada satu sisi perilaku konsumtif memang menguntungkan produsen tertentu. Individu sebagai konsumen juga dapat merasa puas baik secara psikologis maupun fisik. Puas karena mendapatkan sesuatu yang berdaya guna atau dapat memperindah diri. Di sisi lain, tak jarang perilaku konsumtif menimbulkan penyesalan bagi pelakunya. Entah karena produk atau jasa yang akhirnya tidak sesuai dengan harapan, ataupun penyesalan karena tidak dapat mengatur keuangan dengan baik, bahkan sampai berutang sana-sini.

Tetapi, dampak yang paling buruk adalah efek domino dari perilaku konsumtif. Masyarakat dengan pendapatan yang rendah dapat saja berbelanja di luar kemampuan mereka, karena mencontoh perilaku konsumtif di sekitar mereka. Pola pikir yang terbentuk adalah "dengan bergaya, saya akan dihargai". Yang terjadi adalah kekacauan, bukan hanya secara finansial namun juga psikis. Uang menjadi hal yang utama dan individu menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan. Kita mulai melupakan potensi diri dan pentingnya proses dalam mencapai sesuatu. Kita mulai melupakan hal-hal indah yang kita miliki di luar sepatu bermerek ternama, kosmetik mahal, ataupun baju dengan mode terbaru."Butuh" menjadi alasan menutupi gengsi. Bercermin dari hal tersebut, hendaklah kita belajar hidup sederhana dan berorientasi pada potensi diri. "What is beautiful is not always good. But the good inside you always makes you beautiful”

Tumbuhnya masyarakat pasar-industri (the market-industrial society) dalam konteks kapitalisme modern ternyata telah membawa perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat. Sejak revolusi industri yang membawa pelipatgandaan barang-barang yang dikonsumsi manusia, untuk pertama kalinya, masyarakat hidup dikelilingi oleh beragam komoditas barang dan jasa dalam jumlah dan keragaman fooluar biasa. Walaupun awalnya, barang-barang yang diproduksi lebih merupakan duplikasi dari apa yang digunakan di dalam rumah, inovasi dalam produksi modal industri semakin lama membanjiri pasar, memberikan aneka pilihan, jauh melampaui sekadar kebutuhan dasar (basic needs) yang diperlukan.
Industri dalam kapitalisme modern memiliki kemampuan menciptakan 'kebutuhan-kebutuhan baru' dalam kehidupan. Akibatnya, masyarakat sering kali dihadapkan pada tawaran-tawaran kebutuhan menarik yang mereka sendiri awalnya tak merasa pasti benar-benar membutuhkannya.


METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif dan mengikuti beberapa ciri utama penelitian kualitatif yang disampaikan oleh Patton (1990) dalam Sigit (2001:186-188), misalnya,

a) Naturalistic inquiry (telaah alami)

b) Inductive analysis (analisis induktif)

c) Holisitic perspective (pandangan menyeluruh)

d) Qualitative data (data kualitatif)

e) Design flexibility (fleksibilitas desain) dan lain-lain.

Untuk penelitian ini, sumber data utama adalah remaja yang akan dispesifikkan yaitu remaja yang sudah kuliah. Dan akan lebih dipersempit lagi mahasiswa yang kuliah di Program Ilmu Sosial (PIS). Bagi orang Indonesia isu persepsi kecantikan adalah sesuatu yang mempengaruhi semua orang. Responden yang dipilih adalah remaja karena remaja dikenal sebagai konsumen yang sangat dapat menyesuaikan diri, amat memuja penampilan fisik (narcissitic) dan tidak loyal. Sebuah produk yang dapat diterima dapat sukses dengan gemilang, ketika para remaja memilih suatu merek sebagai ciri/ tanda yang membedakan mereka dari yang lain. Namun produk tersebut dapat langsung ditinggalkan keesokan harinya. Dari penelitian ini kita ingin tahu apakah ada faktor yang mempengaruhi mereka dalam membeli kosmetik dan sejauh mana daya beli mereka terhadap kosmetik.

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah teknik Focus Group Discussion (FGD). FGD adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Dengan cara ini, peneliti bisa mendapatkan opini-opini mengenai topik ini yang bermacam-macam, karena linkungan sosial masing-masing akan mempengharui pendapat mereka. Peneliti juga dapat menggunakan teknik FGD ini diantara kelompok mahasiswa dari jurusan berbeda, biar bisa mengetahui kalau ini adalah faktor yang mempengharui opini dan persepsi mereka.

Teknik pengumpulan data lain yang akan di gunakan adalah angket dan wawancara. Teknik pengumpulan data yang utama adalah melewati angket. Selain dari menyebarkan angket, Peneliti telah mengadakan Wawancara yang dalam dengan responden, serta melakukan Observasi. Teknik wawancara adalah satu cara untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam dan spesifik mengenai topik ini dengan cara bertanya langsung kepada responden tertentu yang akan dipilih.

Untuk teknik menganalisis data, segala data yang dikumpulkan, baik angket maupun catatan atau transkrip dari wawancara, FGD, dan observasi akan dianalisa secara dalam. Di sini akan dianalisa perbedaan dan kesamaan di antara data yang dikumpulkan, dan akan menjelaskan hasil pengumpulan data yang paling berguna untuk menjawab pertanyaan dalam Rumusan Masalah lewat interpretasi data yang didapatkan dari hasil wawancara dan angket.

Selanjutnya, jika terdapat pola dalam data yang dikumpulkan, akan coba dijelaskan pola data itu dengan mencari keterkaitan pola tersebut dengan teori-teori dari literatur. Statistik deskriptif, seperti persentase akan ditarik dari pengumpulan data dan akan digunakan untuk menggambarkan atau memberi penjelasan secara rinci tentang topik yang diteliti. Walaupun demikian, analisis data dalam penelitian ini menyandarkan pada deskripsi, dan akan menganalisa data secara induktif.


SAJIAN DAN ANALISA DATA

4.1. Subyek Penelitian

Adapun subyek dari penelitian ini adalah perempuan yang berdomisili di Malang lebih dari 7 tahun dan berumur antara 19 – 27 tahun. Alasan dari pemilihan tersebut sebagai responden pada penelitian ini adalah karena pada umum tersebut, perempuan cenderung untuk memiliki jiwa ingin mencoba sesuatu yang baru.

Hal ini ditambah dengan perempuan tersebut mengetahui bagaimana wanita dan kecantikan pada era sebelumnya di Malang, yaitu di era ’80-an. Syarat bagi responden ini, dapat membantu peneliti dalam membandingkan bagaimana dan seberapa pentingnya kecantikan bagi perempuan di Malang antara sekarang dan setidaknya satu generasi sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan kepada 39 orang perempuan yang berdomisili di Malang lebih dari 7 tahun. Penelitian ini dilakukan di Malang dengan jangka waktu 3 minggu.

Daftar Pertanyaan dalam Wawancara

Pada proses pencarian data dalam penelitian ini, dilakukan sebuah wawancara kepada para responden yang telah ditentuan kuaifikasinya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ada pun bentukdari wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur. Artinya, peneliti memiliki daftar pertanyaan yang khusus dibuat untuk responden untuk dijawab oleh mereka.

Bentuk dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Nama Responden
  2. Umur Responden
  3. Sudah berapa lama responden tinggal di Malang
  4. Menurut responden, apa perbedaan masyarakat Malang yang dulu (era ’80-an) dengan masa sekarang apabila dilihat dari kacamata kesadaran diri akan kecantikan
  5. Menurut responden, apa perbedaan perempuan di Malang pada era ’80-an dengan masa sekarang
  6. Bagaimana penilaian responden terhadap kecantikan
  7. Menurut responden, pentingkah kecantikan itu bagi perempuan
  8. Apakah dalam pemilihan kosmetik, responden memiliki kecenderungan untuk memilihnya berdasarkan merk tertentu
  9. Berdasarkan apa responden memilih suatu merk kosmetik

Interpretasi Data

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil wawancara kepada responden maka, peneliti melakukan interpretasi terhadap data-data tersebut. Nama responden, ditanyakan sebagai informasi tambahan apabila memerlukan keterangan lebih lanjut dari responden. Sedangkan umur ditanyakan sebagai sebuah ketentuan yang telah ditetapkan bagi responden, yaitu batasan umur bagi responden adalah kisaran 19-27 tahun.

Pada pertanyaan pertama ditanyakan sudah berapa lama responden tinggal di Malang. Hal ini disebabkan oleh setidaknya responden sudah tinggal di Malang lebih dari 5 tahun, agar memiliki wawasan mengenai kota Malang dan perubahan sosialnya. Hasil yang di dapatkan pada pertanyaan pertama, mayoritas responden telah tinggal di Malang sejak mereka lahir.

Mayoritas responden menyatakan bahwa perempuan Malang sebenarnya telah sadar aka kecanikan sejak dahulu kala, namun kecantikan yang mereka peroleh lebih alami karena tanpa menggunakan kosmetik atau bahan-bahan kimia. Kemudian mayoritas responden menyatkan bahwa perempuan di Malang pada masa kini lebih banyak berpikir modern terutama mengenai masalah kecantikan.

Hasil intrepetasi data yang didapatkan untuk penelitian ini adalah, bahwa tidak benar adanya jika seorang perempuan memilih produk kosmetik kecantikan berdasarkan merk yang mereka suka. Pemilihan produk kosmetik kecantikan lebih dikarenakan cocok atau tidaknya produk tersebut dengan kulit mereka. Mayoritas responden sepakat, bahwa kecantikan itu perlu dan wajib dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya bagi perempuan. Selain itu, menurut mayoritas responden, bahwa kecantian yang sesungguhnya bukan hanya dari penampilan fisik, namun juga dari kecantikan hati nurani yang dimiliki oleh seorang perempuan.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan untuk penelitian ini adalah, bahwa tidak benar adanya jika seorang perempuan memilih produk kosmetik kecantikan berdasarkan merk yang mereka suka. Pemilihan produk kosmetik kecantikan lebih dikarenakan cocok atau tidaknya produk tersebut dengan kulit mereka. Mayoritas responden sepakat, bahwa kecantikan itu perlu dan wajib dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya bagi perempuan. Selain itu, menurut mayoritas responden, bahwa kecantikan yang sesungguhnya bukan hanya dari penampilan fisik, namun juga dari kecantikan hati nurani yang dimiliki oleh seorang perempuan.

Saran

Saran yang dapat diberikan bagi perempuan dalam memilih kosemtik adalah agar tidak terpengaruh pada gencarnya produk kosmetik memasarkan iklan-iklan mereka. Hal ini dikarenakan oleh kecantikan memang perlu bagi setiap perempua, namun cara untuk mendapatkan ataupun mempertahankan kecantikan tersebutlah yang harus benar. Kecantika harus dijaga drai luar dan dalam. Untuk menjaga kecantikan dari luar (fisik), maka perempuan harus memiliki pola hidup dan pola makan sehat, seperti olahraga dan makan teratur. Dari segi kosmetik sudah sepatutnya seorang perempuan memilih produk kosmetik berdasarkan cocok atau tidaknya produk tersebut di kulit mereka. Kemudian, untuk menjaga kecantikan dari dalam, seorang perempuan harus memiliki hati dan nurani yang bersih dan baik, sehingga kecantikan senantiasa terpancar dari hati, bukan sekedar dari pemakaian produk kosmetik.

23 Desember 2007

SARAPAN TERMAHAL

Pada awalnya, ketika saya diminta untuk membuat sebuah artikel mengenai Ideologi dan Hegemoni, maka yang kemudian muncul adalah mengenai masalah feminisme. Suatu hal yang saat ini sedang marak menjadi sorotan masyarakat intelektual. Memang, saya akui feminisme sangat luas dan menarik untuk dibahas dan diperbincangkan. Semua hal tentang feminisme, mulai dari sejarah awal munculnya ideologi tersebut, atau bahkan hingga sikap para perempuan masa kini yang semakin “mendewakan” dirinya sendiri sebagai suatu sosok yang patut mendapatkan posisi “#1” (number one, the best, popular, dan sebagainya).

Namun, pada pagi hari ini, ada sebuah kejadian menarik yang ingin saya tulis pada tugas artikel kali ini, saya terinspirasi dari menu sarapan yang baru saja saya makan. Ya, pada artikel ini saya akan membahas mengenai sebuah gaya hidup dari sebuah ideologi baru yang bernama globalisasi. Sebuah ideologi yang mulai sering dibicarakan orang sejak babak baru millennium 21.

Globalisasi, sebuah istilah di mana ia akan diidentikan dengan sebuah dunia tanpa batas, terbuka, dan global (mendunia). Dalam globalisasi, informasi serba terbuka, akses apa pun yang kita inginkan serba cepat, kegiatan apa pun bisa dilakukan, bahkan semakin menambah semangat para ilmuwan untuk menghasilkan sebuah karya-karya teknologi mutakhir nan canggih. Sebut saja, robot yang dapat berbicara dan beraktivitas seperti manusia sebagai salah satu contoh high technology yang tersedia di era globalisasi. Karena globalisasi, maka hadir sebuah cita-cita dari banyak manusia kapitalis untuk menyamaratakan dunia dalam genggaman kepemilikan satu orang. Dan karena globalisasi juga, kebutuhan akan pemenuhan keperluan-keperluan manusia harus dapat dilakukan dengan serba cepat, praktis, instant, dan menyeluruh.

Globalisasi menurut Martin Albrow merupakan seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global. Karakteristik globalisasi adalah kecendrungan menyatunya internasionalisasi produksi, pembagian kerja internasional yang baru, perpindahan penduduk dari selatan ke utara, lingkungan kompetisi baru yang mempercepat prose situ, dan internasionalisasi negara, dan membuat negara sebagai agen globalisasi dunia. Sedangkan menurut Rosabeth Moss Kanter, dalam globalisasi, dunia menjadi sebuah pusat perbelanjaan global yang dalam gagasan dan produksinya, tersedia di setiap tempat pada saat yang sama.

Dalam globalisasi, semua hal menjadi mungkin. Termasuk salah satunya adalah dalam hal gaya hidup. Dalam hal ini, yang kita bicarakan adalah sebuah gaya hidup yang memanjakan manusia dengan pelayanan/jasa, yang biasa kita sebut dengan istilah “cepat saji” atau “instan”. Gaya hidup telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, mulai dari pakaian, transportasi, teknologi, dan juga makanan. Di berbagai belahan dunia, terutama di kota-kota metropolis istilah makanan cepat saji atau makanan instan merupakan sesuatu yang tidak asing. Oleh karena tingginya tingkat mobilitas di kota metropolis, maka tidak ada waktu bagi orang-orang di kota tersebut untuk memasak sendiri, berbelanja bahan masakan sendiri, dan bahkan menunggu matang di dapur. Maka, hadirlah sebuah inovasi baru dalam bidang masakan atau pola makan di kota besar, makanan cepat saji. Ketika makanan cepat saji hadir, masyarakat tak perlu lagi repot untuk berbelanja di pasar, memasak di dapur, dan bahkan memakan makanan dengan tenang tanpa terburu-buru di meja makan. Saya sangat yakin akan sangat sulit ditemukan hal yang seperti itu di sebuah kota metropolis.

Pada awalnya gaya hidup seperti ini dimulai oleh bangsa western yang kemudian dibawa ke Asia dan termasuk di dalamnya adalan negara Indonesia. Gaya hidup serba praktis, menjadi sebuah budaya baru dalam peradaban millennia. Salah satu contoh yang akan saya paparkan adalah kisah sarapan saya bersama Mc. Donalds.

Siapa yang belum tahu tentang Mc.Donalds? Sebuah icon ayam goreng cepat saji dengan logo “M”-nya yang sangat emotional branded. Pada pgi hari ini, saya sangat begitu malas untuk pergi keluar dari kamar kos untuk sekedar membeli sarapan pagi dikarenakan banyaknya tugas kuliah yang harus saya kerjakan. Kemudian, saya berpikiran untuk bagaimana caranya agar saya tetap bisa sarapan tanpa harus meninggalkan kamar saya untuk tetap mengerjakan tugas kuliah. Kemudian, saya teringat pada pelayanan delivery service. Sebuah fasilitas pengiriman barang, yang boleh dikatakan memang menguntungkan bagi orang-orang butuh melakukan dua hal berbeda pada saat bersamaan. Akhirnya saya memilih Mc.Donalds untuk saya coba. Ya, selain nomor teleponnya yang menurut saya yang tidak hebat dalam hal menghapal termasuk kategori mudah diingat, saya juga ingin mencoba apa rasanya mecoba fasilitas kemudahan delivery service, langsung ke depan rumah saya.

Benar saja, begitu saya tekan nomer telepon tujuan, di seberang telepon terdengar suara ramah customer service melayani pertanyaan-pertanyaan saya. Dalam pelayanan tersebut, ternyata informasi yang diberikan begitu detail, sebagai contoh, hingga nominal uang yang akan saya berikan pada saat saya membayar pesanan, apakah menggunakan uang pas atau uang kembalian. Namun, itu bukan hal pertama yang membuat saya sebagai seorang mahasiswa dengan hidup kategori pas-pasan di negeri orang menjadi terheran-heran dan sedikit kaget. Ada hal lainnya, yaitu harga yang harus saya bayarkan untuk sarapan saya! Bayangkan, saya harus merogoh kocek sebesar Rp 37.200,- untuk 2 potong ayang, 1 kepal nasi, 1 kotak kentang goreng, dan segelas minuman soda plus ongkos kirim yang dibebankan kepada pelanggan. Untuk ukuran saya, hal tersebut sangat dahsyat! Nominal tersebut, untuk ukuran anak kos, merupakan hal luar biasa. Bayangkan saja, biasanya untuk sarapan dengan 2 potong ayam yang tidak kalah rasa gurihnya dengan Mc.Donalds dan sebungkus nasi dengan ukuran penuh (sangat banyak – porsi untuk anak laki-laki) dan tentunya disertai dengan lalapan sayuran, saya hanya menghabiskan uang paling mahal Rp 7000,-. Apabila sedang ingin, saya biasanya menambahkan susu kotak instan dalam menu sarapan saya, dan hal tersebut hanya mencapai Rp 10.000,-. Itulah semahal-mahalnya saya sarapan pada pagi-pagi di hari biasanya. Tapi hari ini benar-benar luar biasa mahal menu sarapan saya. Hal ini membuat saya berpikir bahwa sebuah gaya hidup berkelas seperti orang-orang metropolis yang mencontoh gaya hdiup barat tidaklah murah, terlebih dengan biaya jasa yang harus dibayarkan.

Bagi saya, hal ini merupakan sebuah contoh kisah menarik yang bisa saya ulas pada artikel ini. Bahwa sebuah ideologi dan bahkan peradaban bernama globalisasi, salah satunya dalam hal makanan, telah menghegemoni di masyarakat kota-kota besar dan kemudian menjamur ke kota-kota suburban seperti Malang di negara Indonesia. Dari sebuah kebutuhan akan dunia serba cepat dan instan, menjadi sebuah kebiasaan dan budaya dalam nadi masyarakat di dunia. Begitu dahsyatnya sebuah globalisasi, dengan berbagai kekurangan dan juga kelebihannya, ia telah banyak mengajarkan arti kehidupan bagi orang-orang yang berpikir, yang tak hanya seksedar menerima peradaban, tetapi juga mengukir dirinya dan menjadi bagian dai peradaban tersebut. Sehingga globalisasi tidak akan hanya menghegemoni di masyarakat dengan tanpa control, tetapi juga dapat lebih bermanfaat untuk masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman kali ini, saya memiliki sebuah kesimpulan bahwa manusia memang memiliki kebutuhan hidup yang tidak terbatas, dan akan mengkomunikasikannya melalui tindakan-tindakan mereka dalam kehidupannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk dimanjakan oleh teknologi, jasa, dan juga oleh manusia lainnya. Melalui globalisasi dan perkembangan teknologi, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi, salah satunya melalui fasilitas delivery service.