08 Januari 2008

Feminisme dalam Public Relations

(Kajian Semiotik Terhadap Citra Profesi PR di Indonesia)

Oleh: Rifqi Hidayat


Sebelum memasuki tahap analisis, pada bagian awal essai ini akan saya paparkan terlebih dahulu mengenai apa itu definisi dari Public Relations (PR). Mengutip pendapat dari salah seorang tokoh, Marshall dkk, disebutkan bahwa Public Relations merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh goodwill, kepercayaan, saling pengertian, dan citra baik dari publik atau masyarakat. Sedangkan menurut salah seorang tokoh lain, John E. Marston, Public Relations is planned, persuasive communication designed to influence significant public. Artinya bahwa Public Relations perlu direncanakan dalam suatu pendekatan manajemen kepada target publik tertentu yang dilakukan dengan menggunakan metode “persuasive communication”.

Dari kedua definisi diatas terlihat jelas bahwa konsep praktik Public Relations yang utama adalah berkaitan dengan pembentukan dan pemeliharaan hubungan baik yang saling menguntungkan antara organisasi dengan publik, tanpa melibatkan adanya aspek gender (laki-laki dan perempuan) di dalamnya. Pada masa itu. kedua tokoh tersebut sama sekali tidak mengidentikkan profesi Public Relations dengan jenis kelamin tertentu.

Laen dulu, laen sekarang. Rasanya ungkapan tersebut sesuai untuk menggambarkan keberadaan profesi Public Relations saat ini, khususnya di Indonesia. Profesi PR di Indonesia diidentikkan dengan lahan pekerjaan kaum hawa, yakni perempuan. Masyarakat kita mencitrakan profesi Public Relations dengan ”visualisasi” seorang perempuan yang memiliki paras cantik dengan tinggi badan yang semampai. Hanya sebatas itu saja! Jadi dapat dikatakan telah terjadi pergeseran makna atau definisi terhadap profesi Public Relations antara jaman dulu dan sekarang, terutama terkait dengan masalah gender. Dahulu siapa pun berhak untuk menekuni profesi ini, namun sekarang stereotipe yang terbentuk dalam benak masyarakat Indonesia, ”PR itu ya cewek”.

Ada asap pasti ada api. Begitu juga dengan isu gender yang melekat pada profesi Public Relations di Indonesia, pasti ada alasan yang melatarbelakangi mengapa isu tersebut sampai muncul ke permukaan seperti saat ini. Gerakan Feminisme Liberal yang ”lahir” pada saat Perang Dunia II-lah yang sebenarnya merupakan ”dalang” atau latar belakang dari munculnya fenomena ini. Dapat dilihat dari tulisan-tulisan Mary Wollstonecraft, digambarkan disitu hingga abad ke-18, pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga) telah dilakukan di dan sekitar rumah, baik perempuan maupun laki-laki. Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa itu peran perempuan tidak lagi meliputi ranah pekerjaan rumah (domestik), yang orang Jawa bilang di masa itu bahwa peran seorang perempuan hanyalah 3M yakni macak (berdandan), manak (melahirkan), dan masak semata. Tetapi lebih dari itu, mereka juga mulai merambah ke ranah publik. Hal itu mau tidak mau mereka lakukan agar kelangsungan hidup keluarga mereka bisa tetap terjamin, sementara para suami (laki-laki) pergi ke medan perang.

Maka sejak lahirnya Feminisme Liberal hingga saat ini kaum perempuan juga berhak untuk bekerja di luar rumah, berkesempatan menentukan nasibnya sendiri. Saat ini saja di Indonesia, telah dapat kita lihat dan kita rasakan kontribusi kaum perempuan di berbagai bidang pekerjaan yang ada. Mulai dari ”pekerjaan” sebagai kepala negara atau presiden sampai dengan pekerjaan mengemudikan busway, dilakoni juga oleh perempuan. Begitu pula dengan kegiatan Public Relations seperti menangani hubungan antara organisasi dan publik stakeholder-nya, memonitor opini publik yang berkembang di masyarakat hingga mengadakan press conference, juga dilakukan oleh perempuan. Hal ini semakin ditunjang dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan, baik itu yang berskala nasional maupun PMA (Perusahaan Milik Asing) yang mempekerjakan perempuan sebagai tenaga PRO (Public Relations Officer)-nya. Perusahaan-perusahaan tersebut lebih memilih merekrut pegawai perempuan untuk dijadikan sebagai PRO dengan asumsi bahwa perempuan dikenal dengan sifatnya yang lebih ramah, santun, sabar, patuh, fleksibel, serta diimbangi dengan temperamen yang lebih baik ketimbang laki-laki. Semua sifat yang ada dalam diri perempuan tersebut dianggap dapat lebih memudahkan perusahaan dalam meraih tujuan, goodwill, kepercayaan maupun citra positif dari publik atau masyarakat.

Sebagai contoh kasus sekaligus pembuktian dari pernyataan diatas, PT. Indosat East Java and Kalimantan Regional Office yang bertempat di Kota Surabaya, hanya menerima pelamar perempuan untuk ditempatkan pada Division of Public Relations. Begitu pun yang terjadi di PT. Indo Data Pratama, sebuah konsultan PR ternama di Jakarta, yang seluruh staff dan pegawainya berjenis kelamin perempuan (bahkan termasuk owner-nya).

Apabila kenyataan yang terjadi di lapangan tersebut diperparah dengan peran media massa dalam menyebarkan isu gender dalam profesi Public Relations, maka bisa dipastikan masyarakat akan semakin terdoktrin pikirannya bahwa profesi Public Relations itu memang diperuntukkan bagi kaum perempuan, ”PR itu ya cewek”. Tidak hanya berhenti sampai dengan kata ”perempuan” saja, namun akan berlanjut dengan kalimat ”perempuan yang cantik dengan gaya berbusana yang spesifik”. Coba kita perhatikan dengan seksama, hampir semua PRO di Indonesia mengadopsi gaya berbusana yang sama dan spesifik yakni stelan jas atau blazer yang dipadu dengan sepatu high-heels atau stiletto.

Jika semua fenomena mengenai Public Relations yang telah dijabarkan diatas, dikaitkan dengan kajian semiotika maka dapat disimpulkan bahwa saat ini, kita, masyarakat Indonesia, sedang berada dalam kondisi yang disebut keterjebakan mitos. Kondisi dimana seseorang tidak dapat memungkiri, menolak bahkan keluar dari mitos yang ada. Kondisi dimana orang awam bahkan para praktisi Public Relations sekalipun tidak kuasa untuk menolak sebuah pernyataan bahwa ”PR itu ya cewek”. Keadaan dimana para PRO di Indonesia tidak mampu untuk memilih gaya berpakaian lain selain stelan jas atau blazer dengan paduan sepatu high-heels atau stiletto. Sebuah mitos yang dapat membunuh karakter pribadi, jati diri kita, secara perlahan-lahan.

Padahal apabila ditinjau dari kajian Feminisme Psikoanalisis yang dikemukakan oleh Nancy Chodorow, tidak seperti itu adanya. Dia berteori bahwa perkembangan psikoseksual anak laki-laki dan perempuan mempunyai beberapa implikasi sosial. Keterpisahan anak laki-laki dari ibunya adalah penyebab kemampuannya yang terbatas untuk secara dalam berhubungan dengan orang lain. Kekurangan emosional ini, mempersiapkan anak laki-laki untuk dapat bekerja dengan baik di sektor publik, yang menghargai efisiensi yang berorientasi kepada satu tujuan saja, mentalitas ”siapa yang kuat, dia yang menang”, serta kemampuan untuk menjarakkan diri dari Liyan agar dapat memahami Liyan secara obyektif dan tanpa perasaan. Sebaliknya, keterikatan anak perempuan dengan ibunya adalah penyebab kemampuannya untuk berelasi dengan Liyan, untuk menjalin hubungan manusia yang intim dan rumit –jenis hubungan yang dapat memelihara keutuhan ranah pribadi. Sayangnya, kemampuan ini justru yang menyulitkan anak perempuan untuk menciptakan tempatnya sendiri di dalam dunia publik. Justru karena perempuan mengembangkan batas-batas ego yang menyebar, perempuan cenderung untuk menyatukan menyatukan kepentingannya dengan kepentingan orang lain, yang membuat identifikasi dan usaha untuk mencapai kepentingan independen apa pun menjadi suatu hal yang tidak nyaman.

Setelah membaca dan memahami pemikiran dari Chodorow diatas, maka sesungguhnya sudah tidak ada alasan lagi bagi kaum laki-laki untuk merasa ragu-ragu ataupun malu menjadi seorang Public Relations Officer (PRO). Karena sejatinya kaum laki-laki telah dipersiapkan sejak dini (bahkan sejak lahir) untuk dapat bekerja dengan baik di sektor publik, termasuk di dalamnya profesi Public Relations. Memang laki-laki memiliki keterbatasan dalam aspek emosional, namun karena itu terciptalah strong mental endurance yang lebih kokoh pada diri seorang laki-laki. Mereka lebih bisa untuk memfokuskan diri pada satu tujuan saja, laki-laki lebih mampu untuk membedakan mana kepentingan pribadi dan mana kepentingan orang banyak atau perusahaan. Yang pada akhirnya menyebabkan laki-laki lebih cepat dalam usahanya mengantarkan perusahaan pada ”top position”. Tidak percaya? Cobalah anda tengok sepak terjang dari seorang Yudi Rizard Hakim, Public Relations dari PT. HM Sampoerna. Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja dia mampu mengantarkan Sampoerna memperoleh goodwill and good image from the public and stakeholder. Serta perhatikan pula bagaimana cara dan teknik dia bernegosiasi sehingga berhasil menyelamatkan perusahaan dari demo karyawan yang berkepanjangan.

Bahkan berdasarkan dari data yang penulis dapat dari sumber internet menyebutkan bahwa kajian “Corporate Public Relations” pertama kali dicetuskan oleh seorang laki-laki, yakni Arthur W. Page. Beliau merupakan orang pertama yang menulis news release di media (6 Agustus 1945) mengenai peristiwa dijatuhkannya bom atom di Hiroshima, Jepang, oleh pesawat tempur Amerika Serikat.

Atau jika anda berkesempatan mengunjungi negeri Paman Sam, cobalah anda “singgah” ke kampus California Institute of Technology (Caltech). Mengapa? Karena kampus ini dengan bangga “mempekerjakan” seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai Vice President of Public Relations-nya, yaitu Robert L. O’Rourke. Jadi dapat dilihat bahwa laki-laki di negara barat mampu ”menancapkan taring-nya” dan mendapat porsi yang cukup besar untuk dapat berkiprah dalam dunia Public Relations.

So, buat para lelaki di Indonesia, sudah bukan saatnya lagi untuk ragu-ragu dan malu menjadi seorang Public Relations Officer (PRO) hanya gara-gara sebuah mitos ”PR itu ya cewek”. Show that, without any shadow and doubt, you dare to be different and breakdown the myth. (/rif)

Tidak ada komentar: