08 Januari 2008

Hubungan Antara Kecantikan, Produk Kosmetik, dan Keputusan Pembelian

Oleh Ayu Arini, Mahesarani Vini A., Laila Kurniawati, dan Rocmatul Maghfuro


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tampil cantik merupakan keinginan setiap wanita. Semua wanita ingin kelihatan cantik di mata semua orang, terutama oleh lawan jenis. Hal inilah yang kemudian mendorong wanita untuk selalu terlihat cantik dan berlomba-lomba untuk tampil cantik dan menarik. Agar wanita tampil cantik dan menarik konsekuensi logisnya adalah pemakaian produk-produk kosmetik yang akan menunjang penampilan. Dengan kata lain wanita selalu erat kaitannya dengan produk kosmetik dan hampir-hampir tidak bisa dilepaskan dari produk-produk tersebut. Karena kosmetik adalah hal yang paling tidak bisa dilepaskan dari kehidupan wanita, hal ini kemudian memunculkan ketergantungan pemakai terhadap produk-produk kosmetik merek tertentu. Bahkan ada yang sangat setia dengan suatu merek.

Menurut American Marketing Association, merk merupakan nama, istilah, tanda, symbol, atau desain atau kombinasi dari keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari kompetitornya. Merek mempunyai peran strategis yang penting dengan menjadi pembeda antara produk yang ditawarkan suatu perusahaan dengan merek-merek saingannya. Citra merek yang kuat memungkinkan pabrikan meraih kepercayaan langsung dari para pengecer dan pedagang perantara di pasar lainnya.

Dari perspektif konsumen merk yang terpercaya merupakan jaminan atas konsistensi kinerja suatu produk dan menyediakan manfaat apapun (dalam bentuk status atau gengsi) yang dicari konsumen ketika membeli produk atau merek tertentu. Lebih lanjut merek merupakan sebuah janji kepada konsumen bahwa hanya dengan menyebut namanya timbul harapan bahwa merek tersebut akan memberikan kualitas yang terbaik, kenyamanan, status dan lain-lain yang menjadi pertimbangan konsumen ketika melakukan pembelian. Menurut perspektif konsumen sebuah merek memiliki ekuitas sebesar pengenalan konsumen atas merek tersebut dan menyimpannya dalam m,emori mereka beserta asosiasi merek yang mendukung, kuat dan unik.

Kosmetik merupakan kebutuhan bagi seorang wanita. Hal ini memunculkan loyalitas kepada barang merek tertentu. Dan kemudian memunculkan pula konsumerisme di kalangan wanita terhadap kosmetik. Di sisi lain produk kosmetik tertentu dianggap dapat menaikkan gengsi seseorang. Sehingga dorongan yang kemudian muncul tidak hanya agar wanita tampil menarik, tapi juga dorongan agar mempunyai kelas sosial yang lebih tinggi. Konsekuensinya, pola konsumerisme wanita terhadap kosmetik semakin tinggi.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana pola konsumerisme remaja terhadap produk kosmetik?
  2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi remaja dalam memilih dan membeli produk kosmetik?
  3. Apakah hubungan antar merek kosmetik dengan keputusan pembelian?

Tujuan

  1. Untuk mengetahui pola konsumerisme di kalangan remaja khususnya mahasiswa
  2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi remaja dalam memilih dan membeli produk kosmetik
  3. Untuk mengetahi hubungan antara merek dengan keputusan pembelian terhadap suatu produk kosmetik


TINJAUAN PUSTAKA

Wanita Dan Kecantikan

Cantik merupakan idaman setiap wanita. Tidak diketahui secara pasti kapan istilah cantik mulai dikenal dan bagaimana orang mempersepsi kecantikan. Mungkin istilah cantik telah ada bersamaan dengan adanya manusia di bumi ini. Karena sejak dahulu sejarah manusia sudah mengenal persepsi kecantikan mereka, meski dalam konteks yang berbeda-beda

Dalam kesusastraan Indonesia, misalnya dalam sastra kakawin terdapat penggambaran idealisasi kecantikan wanita. Sastra kakawin terdiri puisi-puisi yang menceritakan segala aspek kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat juga definisi-definisi atas idealisme patriarkal tentang femininitas. Menurut Helen Creese (dalam Ita Yulianto: 2007) representasi dari kecantikan fisik perempuan dalam kakawin selalu diasosiasikan dengan alam atau bersifat alamiah, misalnya dalam kitap Arjunawijaya

Oh, pujaan hatiku, Oh dewiku,

Katakanlah padaku mengapa engkau bisa menjadi seorang dewi,

Kaulah kecantikan tak tertandingi

Semua yang kau lakukan sama halnya dengan yang

Dilakukan oleh ara dewi bunga-bunga

Segala kecantikan ada dalam dirimu

Daun Asoka muda adalah pinggangmu

Indahnya kuning kelapa gading seindah payudaramu

Indahnya lambaian tanaman gadung adalah juntai tanganmu

Teratai biru adalah indahnya matamu

Remang bulan seperti berganti siang

Karena kecantikanmu, merana karena hilangnya cahaya

Berapa pun banyaknya puisi yang ada di muka bumi ini,

Takkan pernah cukup untuk melukiskan pesona kecantikanmu

Dalam sastra Jawa yang modern, dideskripsikan pula mengenai representasi kecantikan fisik dari seorang perempuan. Seperti yang terdapat di bawah ini:

Tangannya panjang seperti anak panah,

Rambutnya bergelombang dan hitam sekali,

Giginya seperti biji buah mentimun, tubuhnya langsing kuat,

Warna kulitnya kuning seperti kunyit…

Matanya sering berkedip seperti bila tertiup angin, anak rambutnya

banyak, semua itu menambah pesona ayu wajahnya.

Contoh lain dalam sastra Jawa yang mendeskripsikan idealisme kecantikan perempuan, kecantikan priyayi dideskripsikan sebagai berikut: kecantikan priyayi adalah bila ia bergerak secara lamban. Seperti seorang yang kelelahan, ia menggerakkan matanya pelan manakala ia melihat seseorang lain. Jangan bersolek hanya akan menimbulkan hasrat saja. Kulitnya gelap/kehitam-hitaman, ia tidak suka tertawa. Jika tertawa ia selalu berusaha menutupi mulutnya.

Pada masa klasik tubuh perempuan yang indah selalu di idealisasikan sebagai tubuh yang gemuk dan berisi.Patung dan gambar-gambar perempuan telanjang termasuk visualisasi Dewi Venus lambang kecantikan seorang perempuan pada masa Yunani Klasik sampai masa Renaissance digambarkan memiliki lipatan lemak di pinggang, paha. Ini disebabkan pada masa lalu perempuan dinilai dari kesuburannyasehingga perempuan yang berisi bahkan gemuk dianggap mewakili konsep ideal mengenai tubuh perempuan.Di komunitas masyarakat yang sangat mengagungkan kesuburan perempuan semakin gemuk perempuan maka ia akan dipandang semakin subur yang akhirnya dianggap sebagai bentuk ideal perempuan cantik. Di kalangan masyarakat Arab misalnya, secara tradisi masyarakat Arab terbagi dalam kabilah-kabilah yang seringkali saling berperang satu dengan lainnya.Karena itu kesuburan perempuan menjadi sangat penting karena kuatnya sebuah kabilah ditentukan oleh banyaknya jumlah anggotanya dan perempuan yang subur akan menentukan kejayaan kabilah itu di masa depan.Itulah sebabnya di kalangan masyarakat Arab bahkan sampai sekarang di tradisikan bahwa perempuan yang sudah menikah harus bertubuh gemuk bahkan gembrot , bila tidak maka akan dianggap mempermalukan nama keluarga.

Cleopatra merupakan sosok yang sudah tidak asing bagaiman suatu kecantikan itu direpresentasikan. Ia adalah seorang ratu yang pernah memerintah Mesir. Cleopatra berasal dari bahasa Yunani Kuno yang artinya "keagungan ayah" dan nama lengkap Cleopatra VII - Cleopatra The Philapator mengandung makna "sang Dewi Keagungan Ayah, atau putri kecintaan ayah". Begitulah sang ayah, Ptolemy XI memberinya nama. Pemberian nama Cleopatra oleh sang ayah bukan tanpa sebab. Mungkin karena Ptolemy XI melihat pancaran kecantikan putrinya itu.

Cleopatra memang dikenal sebagai seorang wanita yang berparas cantik dan bertubuh molek. Sejak kecil ia sudah memancarkan gairah kekewanitaan Ada beberapa sumber literatur yang menyebut bahwa Cleopatra bukan wanita berdarah Mesir asli. Ia diduga wanita turunan campuran Macedonia, Yunani, dan Suriah. Karena itu ia mewarisi seluruh kecantikan indo Timur Tengah, Asia dan Eropa. Saat pertama kali menduduki tahta kerajaan Mesir di usia 18 tahun, dalam banyak literatur, ia digambarkan sebagai gadis belia yang sangat menggairahkan. Tinggi semampai dengan lekuk tubuh menawan, buah dada yang ranum menggoda, kaki jenjang, pinggul padat berisi, wajah bulat telur, rambut hitam mengkilat, dan kulit halus putih berkilau. Wajahnya memancarkan gairah dan vitalitas, dengan alis sedikit tebal, mata hitam bersinar, bibir seksi dengan sedikit lekukan menawan di bawah hidung, tampak selalu tersenyum, namun menyimpan misteri "liar" yang menggoda

Studi Tentang Tubuh

Dalam masyarakat Yunani kuno ada 3 pandangan utama mengenai tubuh. Yang pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental. Aliran yang kedua, didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental. Aliran yang terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus, mengatakan bahwa tubuh adalah kuburan bagi jiwa (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.

Pemikiran Romawi tidak memandang tubuh dengan negatif. Sebagian besar orang Romawi sangat percaya dengan astrologi dan memandang tubuh dan jiwa adalah bagian dari kosmis. Kemudian tibalah jaman Renaisans yang mengakhiri ide dasar bahwa "tubuh adalah musuh", dan mulailah bergulir gagasan bahwa tubuh adalah sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler.

Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, tetapi tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak", tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki.

Memasuki era modern pencitraan dan idealisasi tubuh perempuan seperti ini mulai pudar.Dimulai pada era tahun 50 an yang dianggap sebagai era kemakmuran di sejumlah negara yang sebelumnya menderita akibat perang.Era kemakmuran berarti adanya cukupbanyak uang bagi sebagian besar orang untuk membeli sesuatu. Dan salah satunya produk kecantikan.

Di era 80 an pembentukan opini dan persepsi mengenai citra dan idealisasi tubuh perempuan yang sempurna ini mulai merambah pula dunia anak-anak perempuan.Muncullah ikon baru yang diberi nama Barbie yang merupakan sebuah model boneka untuk anak perempuan yang berbentuk seperti perempuan dewasa yang bertubuh bak pragawati yang sebenarnya tidak normal misal kakinya yang terlalu panjang.Mainan baru ini dengan cepat populer menggantikan model boneka anak-anak perempuan sebelumnya yang umumnya berbentuk binatang lucu seperti Teddy Bear , Bunny.Dan tanpa disadari mainan baru ini akan mempengaruhi psikologi dan pandangan anak perempuan tersebut bila dia dewasa nanti.

Dan karena seperti yang diungkap sebelumnya bahwa pencitraan dan idealisasi perempuan cantik dan sempurna itu selalu digambarkan berbeda dengan sebagian besar perempuan maka banyak perempuan kemudian terlalu terobsesi untuk memiliki tubuh seperti yang ada pada model-model tersebut.

Pada perkembangannya yang terakhir tubuh tidak lagi bisa dianggap sebagai sekedar pemberian Tuhan, tetapi dianggap sebagai plastik dan bionik, dengan alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga, pendeknya sesuatu yang dapat dibentuk sesuai keinginan manusia.

Margaret Mead, mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari 2 jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

Mary Douglas (1966) melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Tubuh dibagi menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.

Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.

Bryan S Turner (1984) membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh". Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi: 1) Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi. 2) Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah "politik". 3) Ke-mampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh. 4) Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh.

Menurut Frank (1991) ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body

Tubuh dalam Kebudayaan Konsumen

Mike Featherstone (1982) mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).

Dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.

Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut

Bercermin adalah proses yang problematis. Aktivitas tersebut bukan hanya menghasilkan pantulan seseorang yang bercermin di hadapannya. Cermin seakan menjadi tempat bertanya, seperti dalam dongeng putri salju, sang ratu jahat selalu bertanya siapakah yang tercantik di seantero dunia. Pemaknaan akan diri akhirnya menemukan jalan berliku, bagai cermin ajaib yang bisa berbicara.

Dorongan wanita untuk tampil cantik terkadang cenderung menjadi sebuah obsesi. Definisi Obsesi dalam kamus Bahasa Indonesia adalah sebuah “pikiran yang selalu mengganggu kesadaran seseorang yang sukar dihilangkan dari ingatan” (Partanto&Yuwono, 1994:336). Yang seringkali terjadi adalah adanya kecenderungan seseorang untuk mencari kekurangan pada tubuhnya, dibanding kemampuan untuk menerima tubuhnya apa adanya. Bahkan ketika seseorang menerima tubuhnya yang dianggap cantik sekalipun, ia akan mulai dengan memandang sebelah mata tubuhnya tersebut. Pandangan minor terhadap tubuh, yang sayangnya merupakan kecenderungan, menjadi sebuah jalan masuk kalangan pembuat iklan untuk menciptakan citra produk komoditi, terutama produk perawatan tubuh. Obsesi menjadi cantik itulah yang akhirnya melahirkan konsumerisme terhadap produk kosmetik.

MASYARAKAT DAN KOMODITAS

Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Foucault dengan “masyarakat konsumer” (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 195) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society).

Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, kita hidup dalam suatu masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental.

Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi teristimewa terhadap industri komunikasi.

Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri.

Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Masyarakat kini hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat.

Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial.

Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.

Sejalan dengan pemikiran ini Pilliang mengemukakan bahwa :

Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).

Selain itu Pilliang juga mengemukakan bahwa :

“Demi tetap berlangsungnya sistem kapitalisme, apa yang disebut dengan kapitalisme global, misalnya, memangsa apa saja-artinya menjadikan komoditi apa saja- mulai dari hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinansi dan fantasi, demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya kapital “(Piliang, 1999;hal.117)

Hal yang penting yang terdapat dalam masyarakat komoditas adalah proses pembelajaran. Dalam masyarakat komoditas atau masyarakat konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup. Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum kemajuan dan kebaruan. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media.

Dalam masyarakat komoditas, konsumsi sudah merupakan suatu tanda atau makna keberadaan manusia modern itu sendiri. Segala bentuk pemasaran telah dikomodifikasikan dalam bentuk yang lebih persuasif sekaligus hegemonik melalui simbol-simbol yang digunakan dalam sebuah iklan. Dapat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut adalah media baru bahkan pesan yang dibungkus dalam simbol merupakan media itu sendiri.

Desain, mode, bentuk kata, tipografi muncul sebagai “avant garde” yang pada akhirnya menjadi penentu kebutuhan manusia. Dalam konteks permasaran modern, seseorang sekarang membeli bukan karena barang atau jasa itu sendiri tapi rangkaian kata, simbol yang membentuk gaya hidup yang disimbolisasikan dalam tanda-tanda yang dibuat. Sekarang ada istilah yang disebut sebagai “consumers are the citizen of Brand”. Atau dengan kata lain, kalau kita makan mie sebenarnya yang kita makan adalah merek mie tersebut, kalau kita memakai celana jeans kita tidak semata-mata memakai celana, tapi menggunakan gaya hidup yang inheren melekat dalam jeans tersebut. Logika konsumen adalah logika merek atau brand. Satu sisi kekuatan iklan modern terletak pada daya rayu Iklan yang menekankan aspek simbolisasi yang berhubungan dengan gaya hidup manusia. Penekanan aspek simbolisasi tentu saja akan sangat berhubungan dengan kemampuan manusia untuk menarasikan dan mengabstraksikan gaya hidup dalam sekumpulan tanda, ikon atau indeks yang tepat.

Tapi hal yang perlu dipahami adalah bahwa aspek simbol, ikon atau terminologi apa saja yang ada dalam telaah semiotika berhubungan dengan proses kultur dalam hal ini adalah kultur konsumtif manusia. Pola nilai budaya yang hidup dalam sebuah masyarakat akan sangat berhubungan dengan sistem nilai dan penafsiran tentang apa yang disebut dengan indah atau menarik. Estetisasi budaya konsumtif merupakan aras pelengkat dalam daya pikat iklan tertentu. Dalam pemahaman ini, maka wajar bahwa sebuah iklan dalam budaya tertentu merupakan kombinasi –meminjam istilah Saussure- langue (konsep) dan parole (tuturan).

Dari penjelasan yang diungkapkan di atas terlihat bahwa ranah iklan terutama bagi masyarakat modern merupakan ranah kebudayaan selain bahwa iklan tetap pada domain pemasaran, komersialisasi dan kreativitas seni. Kombinasi domain ini menyebabkan iklan menjadi salah satu kekuatan kapitalisme modern yang berpenetrasi pada wilayah sosial, psikologis, politik, ekonomi dan lainnya. Iklan menjadi bentuk yang sangat jelas bahwa lingkar dan belalai kapitalisme modern sampai menusuk pada ulu hati individu yang berpengaruh pada cara nilai, cara pandang, cara berbelanja, cara makan, cara berkacamata dan masih banyak cara-cara yang lain.

Kosmetik dan Konsumerisme

Menurut konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ada. Sebagai contoh, tahun 1999, warga AS menghabiskan 8 milyar dollar untuk belanja kosmetik. Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Konsumerisme adalah sejenis spending yang menjadi indikator bagusnya demand economy. Konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya uang untuk shopping. Bukan pula soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Lalu, mengapa di tengah lautan kemiskinan yang luas, orang menumpuk barang-jasa bermerek yang berharga absurd? Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada" dilembagakan sebagai nirvana.

Barang/jasa obyek konsumerisme tidak punya arti dalam diri sendiri. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pédé dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pédé tertinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Konsumerisme tak hanya menyangkut proses sosio-psikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi-politik.

Dalam banyak hal bisa dikatakan, konsumerisme menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya-hidup. Pokok ini sentral meski suka dihaluskan dengan menutup-nutupinya dalam istilah value-added. Mereka yang pernah membaca filsafat ekonomi akan tertawa karena istilah "nilai tambah" lebih sering bukan urusan kualitas, tetapi soal klaim pada rasa pédé.

Kehidupan hedonis terpuaskan ketika konsumen pesan-pesan yang membuat mereka merasa nyaman. Orang-orang cenderung nerespon stimuli yang telah diasosiasikan dengan rewards dan dihubungkan dengan aspek kehidupan mereka yang tinggi.

Dalam perspektif hedonic experiental (HEM) melihat orang seringkalii mengkonsumsi produk semata-mata hanya untuk kesenangan atau mengejar fantasi/ stimuli sensorik. Konsumsi produk dari perspektif hedonic menghasilkan antisipasi untuk bersenang-senang, memenuhi fantasi, atau untuk memperoleh perasaan senang. Produk lebih dari sekedar entitas obyek dan merupakn symbol subyektif yang menimbulkan perasaan dan menjanjikan kesenangan serta kemungkinan realisasi dari fantasi. Komunikasi produk yang relevan dengan perspektif HEM ditekankan pad aide nonverbal atau kata-kata yang mudah menyentuh emosi serta dimaksudkan untuk menghasilkan citra, fantasi emosi dan perasaan yang positif.

Seorang psikoanalis perempuan, Rachel Bowlby, mungkin menjengkelkan kaumnya. Dalam Carried Away: Hidden Histories of Shopping (2001), ia ungkap temuannya, "Dalam banyak hal, sejarah shopping (dan konsumerisme) adalah sejarah kaum perempuan". Kualifikasi "pada banyak hal" dalam tuturan itu mau menunjuk, kaum lelaki (dan kaum antara lelaki-perempuan) tidak lepas dari gejala itu. Bowlby tidak sendirian. Diagnosa semacam sudah menjadi pokok refleksi berbagai literatur feminisme.

Ada tiga insting manusia yang menjadi sasaran utama strategi penjulan komoditas dan itu luas dilakukan. Satu, memainkan insting nafsu pemilikan. Dua, memainkan insting privilese dan status. Tiga, memainkan daya tarik romantisme-sensualitas.

Konsumerisme Sebagai Mesin Hasrat

Menurut Lacan yang menggerakkan kehidupan adalah hasrat. Manusia adalah makhluk imajiner. segala sesuat yang membentuk ego idealnya atau identitasnya selalu dikonstruksi oleh imajinasinya sendiri. Konsumerisme samata-mata digerakan oleh hasrat menjadi apa yang dihasrati oleh orang lain. Sebab itu konsumerisme meledak. Dengan mengkonsumsi secara mengada-ada orang merasa memiliki identitas yang diperlukan untuk mendapat pengakuan dari liyan.

Meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, berdasarkan pandangan Lacan, setidak-tidaknya ada dua bentuk utama hasrat, yang juga beroperasi dalam masyarakat posmodern. Pertama, hasrat .menjadi (to be), yaitu hasrat menjadi obyek cinta, kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan sang lain (the others). Orang merasa menjadi obyek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai (narcissistic desire). Inilah, misalnya, orang-orang yang memperlihatkan eksistensi dirinya lewat tanda-tanda dan gaya hidup: mobil mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal,dan kosmetik.

Kedua, hasrat memiliki (to have), yaitu hasrat memiliki sang lain (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri (anaclictic desire). Hasrat memiliki. merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk .mengingingkan. iringan-iringan benda yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global merubah .keinginan. (want) menjadi kebutuhan (need). Artinya, kebutuhan tersebut diciptakan. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi kebutuhan. dan dorongan hasrat di baliknya, untuk keberlanjutan produksi Inilah wacana libidonomics.

Konsumtif: antara Gengsi dan Kebutuhan

Tidak ada batasan yang jelas memang mengenai istilah konsumtif. Kebanyakan orang beranggapan konsumtif padanan kata untuk konsumerisme. Kenyataannya kedua istilah itu berbeda arti. Konsumerisme merupakan istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen, berkaitan dengan kegiatan individu selaku konsumen dalam memperoleh dan menghabiskan barang atau jasa. Tidak hanya itu, konsumerisme juga melingkupi penelitian mengenai perilaku konsumen dan perlindungan terhadap hak individu sebagai konsumen. Sedangkan konsumtif dapat didefinisikan sebagai perilaku membeli barang atau jasa secara berlebihan, walaupun sebenarnya tidak dibutuhkan. Biasanya, individu dengan perilaku konsumtif, cenderung membelanjakan uang berlebihan. Mereka tidak memperhitungkan pemasukan dan pengeluaran.

Yang termasuk dalam perilaku konsumtif adalah addictive consumption, yaitu mengkonsumsi barang atau jasa karena ketagihan. Perilaku konsumtif lainnya adalah compulsive consumption, yaitu berbelanja secara terus-menerus tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya ingin dibeli. Produk yang dibeli belum tentu disukai atau dapat digunakan pembelinya. Biasanya individu berbelanja hanya untuk mengurangi tekanan atau stres yang dialami.

Selain itu terdapat istilah impulse buying atau impulsive buying. Bila compulsive consumption dilakukan semata-mata untuk mengurangi ketegangan, sehingga pada akhirnya tidak memperhatikan produk atau jasa yang dikonsumsi, maka pada impulse buying, produk dan jasa memiliki daya guna bagi individu. Namun, pembelian produk atau jasa tersebut dilakukan tanpa perencanaan.

Perilaku konsumtif telah menjadi bagian dalam masyarakat kita, menjadi gaya hidup. Gaya hidup yang menjerumuskan. Masyarakat kita mudah sekali terbujuk iklan dan segala hal yang artifisial. Kebanyakan dari kita beranggapan apa yang tampak indah adalah baik. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasa percaya diri (self esteem). Orang berusaha tampil baik di hadapan orang lain, membeli berbagai macam kosmetik, alat rias, memperlihatkan dirinya mampu membeli mobil, rumah yang mewah, makan di tempat yang eksklusif. Produsen menggunakan sisi "manusiawi" itu untuk memasarkan dan meningkatkan nilai penjualan produknya.

Pada satu sisi perilaku konsumtif memang menguntungkan produsen tertentu. Individu sebagai konsumen juga dapat merasa puas baik secara psikologis maupun fisik. Puas karena mendapatkan sesuatu yang berdaya guna atau dapat memperindah diri. Di sisi lain, tak jarang perilaku konsumtif menimbulkan penyesalan bagi pelakunya. Entah karena produk atau jasa yang akhirnya tidak sesuai dengan harapan, ataupun penyesalan karena tidak dapat mengatur keuangan dengan baik, bahkan sampai berutang sana-sini.

Tetapi, dampak yang paling buruk adalah efek domino dari perilaku konsumtif. Masyarakat dengan pendapatan yang rendah dapat saja berbelanja di luar kemampuan mereka, karena mencontoh perilaku konsumtif di sekitar mereka. Pola pikir yang terbentuk adalah "dengan bergaya, saya akan dihargai". Yang terjadi adalah kekacauan, bukan hanya secara finansial namun juga psikis. Uang menjadi hal yang utama dan individu menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan. Kita mulai melupakan potensi diri dan pentingnya proses dalam mencapai sesuatu. Kita mulai melupakan hal-hal indah yang kita miliki di luar sepatu bermerek ternama, kosmetik mahal, ataupun baju dengan mode terbaru."Butuh" menjadi alasan menutupi gengsi. Bercermin dari hal tersebut, hendaklah kita belajar hidup sederhana dan berorientasi pada potensi diri. "What is beautiful is not always good. But the good inside you always makes you beautiful”

Tumbuhnya masyarakat pasar-industri (the market-industrial society) dalam konteks kapitalisme modern ternyata telah membawa perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat. Sejak revolusi industri yang membawa pelipatgandaan barang-barang yang dikonsumsi manusia, untuk pertama kalinya, masyarakat hidup dikelilingi oleh beragam komoditas barang dan jasa dalam jumlah dan keragaman fooluar biasa. Walaupun awalnya, barang-barang yang diproduksi lebih merupakan duplikasi dari apa yang digunakan di dalam rumah, inovasi dalam produksi modal industri semakin lama membanjiri pasar, memberikan aneka pilihan, jauh melampaui sekadar kebutuhan dasar (basic needs) yang diperlukan.
Industri dalam kapitalisme modern memiliki kemampuan menciptakan 'kebutuhan-kebutuhan baru' dalam kehidupan. Akibatnya, masyarakat sering kali dihadapkan pada tawaran-tawaran kebutuhan menarik yang mereka sendiri awalnya tak merasa pasti benar-benar membutuhkannya.


METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif dan mengikuti beberapa ciri utama penelitian kualitatif yang disampaikan oleh Patton (1990) dalam Sigit (2001:186-188), misalnya,

a) Naturalistic inquiry (telaah alami)

b) Inductive analysis (analisis induktif)

c) Holisitic perspective (pandangan menyeluruh)

d) Qualitative data (data kualitatif)

e) Design flexibility (fleksibilitas desain) dan lain-lain.

Untuk penelitian ini, sumber data utama adalah remaja yang akan dispesifikkan yaitu remaja yang sudah kuliah. Dan akan lebih dipersempit lagi mahasiswa yang kuliah di Program Ilmu Sosial (PIS). Bagi orang Indonesia isu persepsi kecantikan adalah sesuatu yang mempengaruhi semua orang. Responden yang dipilih adalah remaja karena remaja dikenal sebagai konsumen yang sangat dapat menyesuaikan diri, amat memuja penampilan fisik (narcissitic) dan tidak loyal. Sebuah produk yang dapat diterima dapat sukses dengan gemilang, ketika para remaja memilih suatu merek sebagai ciri/ tanda yang membedakan mereka dari yang lain. Namun produk tersebut dapat langsung ditinggalkan keesokan harinya. Dari penelitian ini kita ingin tahu apakah ada faktor yang mempengaruhi mereka dalam membeli kosmetik dan sejauh mana daya beli mereka terhadap kosmetik.

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah teknik Focus Group Discussion (FGD). FGD adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Dengan cara ini, peneliti bisa mendapatkan opini-opini mengenai topik ini yang bermacam-macam, karena linkungan sosial masing-masing akan mempengharui pendapat mereka. Peneliti juga dapat menggunakan teknik FGD ini diantara kelompok mahasiswa dari jurusan berbeda, biar bisa mengetahui kalau ini adalah faktor yang mempengharui opini dan persepsi mereka.

Teknik pengumpulan data lain yang akan di gunakan adalah angket dan wawancara. Teknik pengumpulan data yang utama adalah melewati angket. Selain dari menyebarkan angket, Peneliti telah mengadakan Wawancara yang dalam dengan responden, serta melakukan Observasi. Teknik wawancara adalah satu cara untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam dan spesifik mengenai topik ini dengan cara bertanya langsung kepada responden tertentu yang akan dipilih.

Untuk teknik menganalisis data, segala data yang dikumpulkan, baik angket maupun catatan atau transkrip dari wawancara, FGD, dan observasi akan dianalisa secara dalam. Di sini akan dianalisa perbedaan dan kesamaan di antara data yang dikumpulkan, dan akan menjelaskan hasil pengumpulan data yang paling berguna untuk menjawab pertanyaan dalam Rumusan Masalah lewat interpretasi data yang didapatkan dari hasil wawancara dan angket.

Selanjutnya, jika terdapat pola dalam data yang dikumpulkan, akan coba dijelaskan pola data itu dengan mencari keterkaitan pola tersebut dengan teori-teori dari literatur. Statistik deskriptif, seperti persentase akan ditarik dari pengumpulan data dan akan digunakan untuk menggambarkan atau memberi penjelasan secara rinci tentang topik yang diteliti. Walaupun demikian, analisis data dalam penelitian ini menyandarkan pada deskripsi, dan akan menganalisa data secara induktif.


SAJIAN DAN ANALISA DATA

4.1. Subyek Penelitian

Adapun subyek dari penelitian ini adalah perempuan yang berdomisili di Malang lebih dari 7 tahun dan berumur antara 19 – 27 tahun. Alasan dari pemilihan tersebut sebagai responden pada penelitian ini adalah karena pada umum tersebut, perempuan cenderung untuk memiliki jiwa ingin mencoba sesuatu yang baru.

Hal ini ditambah dengan perempuan tersebut mengetahui bagaimana wanita dan kecantikan pada era sebelumnya di Malang, yaitu di era ’80-an. Syarat bagi responden ini, dapat membantu peneliti dalam membandingkan bagaimana dan seberapa pentingnya kecantikan bagi perempuan di Malang antara sekarang dan setidaknya satu generasi sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan kepada 39 orang perempuan yang berdomisili di Malang lebih dari 7 tahun. Penelitian ini dilakukan di Malang dengan jangka waktu 3 minggu.

Daftar Pertanyaan dalam Wawancara

Pada proses pencarian data dalam penelitian ini, dilakukan sebuah wawancara kepada para responden yang telah ditentuan kuaifikasinya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ada pun bentukdari wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur. Artinya, peneliti memiliki daftar pertanyaan yang khusus dibuat untuk responden untuk dijawab oleh mereka.

Bentuk dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Nama Responden
  2. Umur Responden
  3. Sudah berapa lama responden tinggal di Malang
  4. Menurut responden, apa perbedaan masyarakat Malang yang dulu (era ’80-an) dengan masa sekarang apabila dilihat dari kacamata kesadaran diri akan kecantikan
  5. Menurut responden, apa perbedaan perempuan di Malang pada era ’80-an dengan masa sekarang
  6. Bagaimana penilaian responden terhadap kecantikan
  7. Menurut responden, pentingkah kecantikan itu bagi perempuan
  8. Apakah dalam pemilihan kosmetik, responden memiliki kecenderungan untuk memilihnya berdasarkan merk tertentu
  9. Berdasarkan apa responden memilih suatu merk kosmetik

Interpretasi Data

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil wawancara kepada responden maka, peneliti melakukan interpretasi terhadap data-data tersebut. Nama responden, ditanyakan sebagai informasi tambahan apabila memerlukan keterangan lebih lanjut dari responden. Sedangkan umur ditanyakan sebagai sebuah ketentuan yang telah ditetapkan bagi responden, yaitu batasan umur bagi responden adalah kisaran 19-27 tahun.

Pada pertanyaan pertama ditanyakan sudah berapa lama responden tinggal di Malang. Hal ini disebabkan oleh setidaknya responden sudah tinggal di Malang lebih dari 5 tahun, agar memiliki wawasan mengenai kota Malang dan perubahan sosialnya. Hasil yang di dapatkan pada pertanyaan pertama, mayoritas responden telah tinggal di Malang sejak mereka lahir.

Mayoritas responden menyatakan bahwa perempuan Malang sebenarnya telah sadar aka kecanikan sejak dahulu kala, namun kecantikan yang mereka peroleh lebih alami karena tanpa menggunakan kosmetik atau bahan-bahan kimia. Kemudian mayoritas responden menyatkan bahwa perempuan di Malang pada masa kini lebih banyak berpikir modern terutama mengenai masalah kecantikan.

Hasil intrepetasi data yang didapatkan untuk penelitian ini adalah, bahwa tidak benar adanya jika seorang perempuan memilih produk kosmetik kecantikan berdasarkan merk yang mereka suka. Pemilihan produk kosmetik kecantikan lebih dikarenakan cocok atau tidaknya produk tersebut dengan kulit mereka. Mayoritas responden sepakat, bahwa kecantikan itu perlu dan wajib dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya bagi perempuan. Selain itu, menurut mayoritas responden, bahwa kecantian yang sesungguhnya bukan hanya dari penampilan fisik, namun juga dari kecantikan hati nurani yang dimiliki oleh seorang perempuan.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan untuk penelitian ini adalah, bahwa tidak benar adanya jika seorang perempuan memilih produk kosmetik kecantikan berdasarkan merk yang mereka suka. Pemilihan produk kosmetik kecantikan lebih dikarenakan cocok atau tidaknya produk tersebut dengan kulit mereka. Mayoritas responden sepakat, bahwa kecantikan itu perlu dan wajib dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya bagi perempuan. Selain itu, menurut mayoritas responden, bahwa kecantikan yang sesungguhnya bukan hanya dari penampilan fisik, namun juga dari kecantikan hati nurani yang dimiliki oleh seorang perempuan.

Saran

Saran yang dapat diberikan bagi perempuan dalam memilih kosemtik adalah agar tidak terpengaruh pada gencarnya produk kosmetik memasarkan iklan-iklan mereka. Hal ini dikarenakan oleh kecantikan memang perlu bagi setiap perempua, namun cara untuk mendapatkan ataupun mempertahankan kecantikan tersebutlah yang harus benar. Kecantika harus dijaga drai luar dan dalam. Untuk menjaga kecantikan dari luar (fisik), maka perempuan harus memiliki pola hidup dan pola makan sehat, seperti olahraga dan makan teratur. Dari segi kosmetik sudah sepatutnya seorang perempuan memilih produk kosmetik berdasarkan cocok atau tidaknya produk tersebut di kulit mereka. Kemudian, untuk menjaga kecantikan dari dalam, seorang perempuan harus memiliki hati dan nurani yang bersih dan baik, sehingga kecantikan senantiasa terpancar dari hati, bukan sekedar dari pemakaian produk kosmetik.

Tidak ada komentar: