23 Desember 2007

SARAPAN TERMAHAL

Pada awalnya, ketika saya diminta untuk membuat sebuah artikel mengenai Ideologi dan Hegemoni, maka yang kemudian muncul adalah mengenai masalah feminisme. Suatu hal yang saat ini sedang marak menjadi sorotan masyarakat intelektual. Memang, saya akui feminisme sangat luas dan menarik untuk dibahas dan diperbincangkan. Semua hal tentang feminisme, mulai dari sejarah awal munculnya ideologi tersebut, atau bahkan hingga sikap para perempuan masa kini yang semakin “mendewakan” dirinya sendiri sebagai suatu sosok yang patut mendapatkan posisi “#1” (number one, the best, popular, dan sebagainya).

Namun, pada pagi hari ini, ada sebuah kejadian menarik yang ingin saya tulis pada tugas artikel kali ini, saya terinspirasi dari menu sarapan yang baru saja saya makan. Ya, pada artikel ini saya akan membahas mengenai sebuah gaya hidup dari sebuah ideologi baru yang bernama globalisasi. Sebuah ideologi yang mulai sering dibicarakan orang sejak babak baru millennium 21.

Globalisasi, sebuah istilah di mana ia akan diidentikan dengan sebuah dunia tanpa batas, terbuka, dan global (mendunia). Dalam globalisasi, informasi serba terbuka, akses apa pun yang kita inginkan serba cepat, kegiatan apa pun bisa dilakukan, bahkan semakin menambah semangat para ilmuwan untuk menghasilkan sebuah karya-karya teknologi mutakhir nan canggih. Sebut saja, robot yang dapat berbicara dan beraktivitas seperti manusia sebagai salah satu contoh high technology yang tersedia di era globalisasi. Karena globalisasi, maka hadir sebuah cita-cita dari banyak manusia kapitalis untuk menyamaratakan dunia dalam genggaman kepemilikan satu orang. Dan karena globalisasi juga, kebutuhan akan pemenuhan keperluan-keperluan manusia harus dapat dilakukan dengan serba cepat, praktis, instant, dan menyeluruh.

Globalisasi menurut Martin Albrow merupakan seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global. Karakteristik globalisasi adalah kecendrungan menyatunya internasionalisasi produksi, pembagian kerja internasional yang baru, perpindahan penduduk dari selatan ke utara, lingkungan kompetisi baru yang mempercepat prose situ, dan internasionalisasi negara, dan membuat negara sebagai agen globalisasi dunia. Sedangkan menurut Rosabeth Moss Kanter, dalam globalisasi, dunia menjadi sebuah pusat perbelanjaan global yang dalam gagasan dan produksinya, tersedia di setiap tempat pada saat yang sama.

Dalam globalisasi, semua hal menjadi mungkin. Termasuk salah satunya adalah dalam hal gaya hidup. Dalam hal ini, yang kita bicarakan adalah sebuah gaya hidup yang memanjakan manusia dengan pelayanan/jasa, yang biasa kita sebut dengan istilah “cepat saji” atau “instan”. Gaya hidup telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, mulai dari pakaian, transportasi, teknologi, dan juga makanan. Di berbagai belahan dunia, terutama di kota-kota metropolis istilah makanan cepat saji atau makanan instan merupakan sesuatu yang tidak asing. Oleh karena tingginya tingkat mobilitas di kota metropolis, maka tidak ada waktu bagi orang-orang di kota tersebut untuk memasak sendiri, berbelanja bahan masakan sendiri, dan bahkan menunggu matang di dapur. Maka, hadirlah sebuah inovasi baru dalam bidang masakan atau pola makan di kota besar, makanan cepat saji. Ketika makanan cepat saji hadir, masyarakat tak perlu lagi repot untuk berbelanja di pasar, memasak di dapur, dan bahkan memakan makanan dengan tenang tanpa terburu-buru di meja makan. Saya sangat yakin akan sangat sulit ditemukan hal yang seperti itu di sebuah kota metropolis.

Pada awalnya gaya hidup seperti ini dimulai oleh bangsa western yang kemudian dibawa ke Asia dan termasuk di dalamnya adalan negara Indonesia. Gaya hidup serba praktis, menjadi sebuah budaya baru dalam peradaban millennia. Salah satu contoh yang akan saya paparkan adalah kisah sarapan saya bersama Mc. Donalds.

Siapa yang belum tahu tentang Mc.Donalds? Sebuah icon ayam goreng cepat saji dengan logo “M”-nya yang sangat emotional branded. Pada pgi hari ini, saya sangat begitu malas untuk pergi keluar dari kamar kos untuk sekedar membeli sarapan pagi dikarenakan banyaknya tugas kuliah yang harus saya kerjakan. Kemudian, saya berpikiran untuk bagaimana caranya agar saya tetap bisa sarapan tanpa harus meninggalkan kamar saya untuk tetap mengerjakan tugas kuliah. Kemudian, saya teringat pada pelayanan delivery service. Sebuah fasilitas pengiriman barang, yang boleh dikatakan memang menguntungkan bagi orang-orang butuh melakukan dua hal berbeda pada saat bersamaan. Akhirnya saya memilih Mc.Donalds untuk saya coba. Ya, selain nomor teleponnya yang menurut saya yang tidak hebat dalam hal menghapal termasuk kategori mudah diingat, saya juga ingin mencoba apa rasanya mecoba fasilitas kemudahan delivery service, langsung ke depan rumah saya.

Benar saja, begitu saya tekan nomer telepon tujuan, di seberang telepon terdengar suara ramah customer service melayani pertanyaan-pertanyaan saya. Dalam pelayanan tersebut, ternyata informasi yang diberikan begitu detail, sebagai contoh, hingga nominal uang yang akan saya berikan pada saat saya membayar pesanan, apakah menggunakan uang pas atau uang kembalian. Namun, itu bukan hal pertama yang membuat saya sebagai seorang mahasiswa dengan hidup kategori pas-pasan di negeri orang menjadi terheran-heran dan sedikit kaget. Ada hal lainnya, yaitu harga yang harus saya bayarkan untuk sarapan saya! Bayangkan, saya harus merogoh kocek sebesar Rp 37.200,- untuk 2 potong ayang, 1 kepal nasi, 1 kotak kentang goreng, dan segelas minuman soda plus ongkos kirim yang dibebankan kepada pelanggan. Untuk ukuran saya, hal tersebut sangat dahsyat! Nominal tersebut, untuk ukuran anak kos, merupakan hal luar biasa. Bayangkan saja, biasanya untuk sarapan dengan 2 potong ayam yang tidak kalah rasa gurihnya dengan Mc.Donalds dan sebungkus nasi dengan ukuran penuh (sangat banyak – porsi untuk anak laki-laki) dan tentunya disertai dengan lalapan sayuran, saya hanya menghabiskan uang paling mahal Rp 7000,-. Apabila sedang ingin, saya biasanya menambahkan susu kotak instan dalam menu sarapan saya, dan hal tersebut hanya mencapai Rp 10.000,-. Itulah semahal-mahalnya saya sarapan pada pagi-pagi di hari biasanya. Tapi hari ini benar-benar luar biasa mahal menu sarapan saya. Hal ini membuat saya berpikir bahwa sebuah gaya hidup berkelas seperti orang-orang metropolis yang mencontoh gaya hdiup barat tidaklah murah, terlebih dengan biaya jasa yang harus dibayarkan.

Bagi saya, hal ini merupakan sebuah contoh kisah menarik yang bisa saya ulas pada artikel ini. Bahwa sebuah ideologi dan bahkan peradaban bernama globalisasi, salah satunya dalam hal makanan, telah menghegemoni di masyarakat kota-kota besar dan kemudian menjamur ke kota-kota suburban seperti Malang di negara Indonesia. Dari sebuah kebutuhan akan dunia serba cepat dan instan, menjadi sebuah kebiasaan dan budaya dalam nadi masyarakat di dunia. Begitu dahsyatnya sebuah globalisasi, dengan berbagai kekurangan dan juga kelebihannya, ia telah banyak mengajarkan arti kehidupan bagi orang-orang yang berpikir, yang tak hanya seksedar menerima peradaban, tetapi juga mengukir dirinya dan menjadi bagian dai peradaban tersebut. Sehingga globalisasi tidak akan hanya menghegemoni di masyarakat dengan tanpa control, tetapi juga dapat lebih bermanfaat untuk masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman kali ini, saya memiliki sebuah kesimpulan bahwa manusia memang memiliki kebutuhan hidup yang tidak terbatas, dan akan mengkomunikasikannya melalui tindakan-tindakan mereka dalam kehidupannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk dimanjakan oleh teknologi, jasa, dan juga oleh manusia lainnya. Melalui globalisasi dan perkembangan teknologi, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi, salah satunya melalui fasilitas delivery service.

Tidak ada komentar: